"Mas?"
Nathan bergeming.
"Anak kita mau dikasih nama apa?"
Hening."Kok nggak dijawab?"
Anita bangkit dari posisi tidurnya mendekatkan wajah kearah Nathan yang berbaring memunggungi.
Tak ada reaksi.Perempuan cantik itu melenguh kesal.
Kandungannya sudah semakin besar. Namun, nathan tak pernah peduli.
Kenyataan ini menyedihkan.Sikap tak acuh dan tak peduli yang di tunjukkan nya kepada sang istri, diawal-awal mungkin masih bisa dimaklumi.
Dia mengerti jika Nathan masih menyalahkannya akan peristiwa yang memaksa mereka menikah. Terus terang, bisa dibilang Anita memang menginginkannya terjadi.Keintiman yang akan membuka pintu kedekatan dan memancing koneksi diantara mereka berdua. Hanya itu. Anita sama sekali tidak mengira bahwa 'hubungan' sekali akan berbuah janin diperutnya.
Pernikahan memang ada, tetapi arus elektrik yang seharusnya menghubungkan mereka berdua sebagai suami istri, tidak juga tercipta. Ah, mungkin tepatnya belum. Sebagai perempuan yang dididik dalam lingkungan tradisi dan ketat aturan-aturan konvensional, Anita juga didokrit untuk tak gampang menyerah jika dia menginginkan sesuatu. Apa pun itu.
Namun, sikap Nathan tetap dingin, dan tak peduli. Bahkan tidak mau terlibat setiap pemeriksaan kandungan. Atau dia sebagai perempuan yang kurang bersyukur? Setidaknya lelaki itu mau mengantarkan. Walaupun enggan melewati pintu pemeriksaan dokter kandungan dan membiarkan istrinya sendiri di dalam.
Semula Anita mengira, keacuhan itu perlahan akan bisa ditaklukkan. Menyadari kesalahannya yang menggiring hingga peristiwa yang tidak diinginkan itu terjadi. Dia siap bersabar dan melakukan apa pun untuk membahagiakan Nathan. Kuncinya kesabaran dan keuletan, kata ibu saat menceritakan perjuangan perempuan berusia lima puluhan itu menaklukkan bapak Anita.
Maka Anita pun bersabar. Melayani keperluan laki-laki itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Berdandan sebelum ia bangun, dan baru memicingkan mata setelah memastikan suaminya terurus dengan baik. Cukup air minum jika sewaktu-waktu dia haus, tanpa perlu beranjak ke dapur. Cukup hangat oleh selimut. Seprai dan sering bantal diganti setiap dua hari sekali. Tidak peduli pembantu dirumah mungkin mengomel.
Toh, mesin yang mencuci, pikir Anita.Dia berusaha tak terpancing dan tetap lembut, kecuali ketika cemburu. Namun, menurut perempuan cantik itu, sejauh ini dia bisa dibilang cukup sabar ketika kemesraan yang diekspresikanya disambut dingin.
"Mas nggak cinta, ya, sama aku."
Pernah dia merajuk, berpura-pura akan menangis sampai Nathan mau mengucapkan cinta.
Sepotong kalimat yang diharapkan itu kemudian memang terucap, tetapi tidak dengan cara yang dia inginkan.
Jangan tanyakan soal 'percintaan' suami istri. Nathan melakukan apapun untuk menghindari kewajibannya sebagai suami.
"Ngantuk." itu alasan yang paling sering.
"Capek! Tadi dikantor bla bla bla..." alasan kedua yang rutin terucap.
Anita ingin protes, tetapi menurut ibunya, biarkan lelaki merasa mereka paling benar.
"Egonya memang begitu. Lihat aja Bapak!"
Kata ibu, bukan soal siapa kalah atau menang, tetapi yang penting tujuan mereka sebagai perempuan tercapai.
Dan, selama dua tahun ini apakah yang menjadi keinginan Anita selain bisa berdampingan dengan lelaki jangkung berambut ikal itu. Misi tercapai, walaupun kata orang hampir tidak mungkin.
Apa lagi yang dia inginkan?
Biarlah Nathan bertindak sesuka hati. Terus mengejar perempuan bernama Sya. Meski kecemburuan nya sering tersulut, terutama suaminya pulang telat dari kantor. Bayangan gadis bernama Sya yang mungkin menemani suaminya diluar, sulit dihilangkan dari kepala. Sebab hanya satu nama itu yang tak berhenti dicintai Nathan.
Cemburu berat menguras kesabaran Anita, semakin akut seiring kandungan yang kian tua.
Dia tak tahan lagi kehilangan sosok tulis Nathan yang siap membantu siapapun.
Dan, perkataan lelaki itu tadi pagi benar-benar menyakitkan.
"Kamu minta aku peduli akan anak, yang bahkan belum tentu darah daging aku?"
Anita tercengang.
Ringan sekali tangan perempuan itu melayang ke wajah Nathan.
Namun, sikap naik darahnya berakibat Nathan berhenti bicara sepenuhnya. Meskipun sebagai istri dia sudah meminta maaf. Bahkan siap bersimpuh dan mencium kaki lelaki itu.
Dia jatuh cinta pada Nathan, sangat menginginkan laki-laki itu ada disisinya.
Sudah lama.
Sebelumnya Anita mengira segalanya akan menjadi mudah untuk dijalani setelah lelaki itu mendampinginya.
Ternyata dia salah.
Dia yakin Nathan belum tidur dan bisa mendengar kalimat istrinya kemudian, yang bernada sedih.
"Kamu tau, Mas. Aku kira segalanya menjadi mudah buat menjalani hidup setelah Mas mendampingi."
Anita mencondongkan tubuhnya, hingga bibirnya begitu dekat dengan telinga lelaki disisinya. Mulutnya menghembuskan kehangatan pada rambut-rambut halus dibelakang telinga Nathan sebelum dengan penuh sesal berkata
"Ternyata aku salah. Aku menikah dengan seseorang, yang bahkan bilang cinta dia mengatakannya sambil membelakangiku."Nathan bertahan memejamkan mata.
Kadang ada iba melihat keadaan Anita. Namun, rasa kasihannya selalu kalah setiap mengingat lagi kejadian itu. Semakin lama dipikir, semakin dia melihat, Anita memang dengan sengaja menggiringnya melakukan salah satu dosa besar yang paling tidak disukai Allah.
Salahkah jika dia ingin semua ini cepat selesai?
Salhkah jika dia hanya ingin mendampingi Anita hingga bayi mereka lahir, lalu mengurus perceraian secepatnya?
Dia berharap Sya akan menerimanya kembali. Nathan siap menebus kesalahannya, dengan cara apa pun yang dia bisa. Agar kisahnya dan Sya menemukan akhir bahagia seperti seharusnya.#
###
Hayooo bisa nggak kira-kira si Nathan kembali bersama Sya?
Gimana juga kelanjutan hubungan Chanyeol dan Haba?
Hemm.. Tunggu aja the next chapt ya.Xoxo
KAMU SEDANG MEMBACA
Convert(Park Chanyeol)#the End
FanfictionHidayah siapa yang dapat menduga? Siapa yang bisa menentukkan arahnya? siapa yang dapat menentukan kapan datangnya? Hidayah dia datang sendiri, pada orang yang sudah sepantasnya. Park Chanyeol adalah warganegara Korea Selatan menetap di seoul, tel...