15.Pertemuan Kedua

56 5 0
                                    

Ada sesuatu yang berbeda, pada diri lelaki dengan rahang kukuh dan senyum yang memberi matahari ini, pikir Haba.

Mungkin terlalu dini menilai karena mereka baru dua kali bertemu. Namun, pertemuan dengan orang asing, bukan alasan bagi Haba untuk melonggarkan diri terkait pergaulan. Prinsip tetap prinsip; Kemarin, hari ini, besok, tidak boleh menjadi sesuatu yang usang.

Dia menangkap kekagetan lelaki itu saat uluran tangannya mendapatkan sambutan berbeda. Bukan jabatan tangan melainkan gaya salaman lain.

"I do it this away, usually."

Jelasnya sambil mengatupkan kedua tangan dan menyedekapkannya didepan dada.

"Is it your or all indonesian muslim woman do that?"

Pertanyaan Chanyeol.

Seharusnya tak hanya Haba, sebab itu perintah islam.

"What about a kiss on a cheek?"

Haba menggeleng. Meskipun hanya satu ciuman di pipi.

"No touch at all?"

Gadis itu mengangguk. Islam tak membenarkan laki-laki dan perempuan bersentuhan. Apa yang harus dilakukan seorang hamba selain memberikan kepatuhan kepada Rabb-Nya?

"Hugs?"

Haba menggeleng.

Ok, not hugable too.

Seperti seorang jurnalis, lelaki dari Seoul itu tak hanya mengingat, tetapi mencatat jawaban yang diberikan gadis di hadapannya. Padahal mereka hanya berteman. Pertemuan terakhir dikafetaria hotel yang dipenuhi ornamen lampion, malam sebelum Haba kembali ke tanah air.

Sebelumnya, sepulang dari Masjid Hyunjin, sesorean mereka menyusuri Hutong. Hutong merupakan gang-gang atau jalan sempit yang menjadi ikon kota Seoul.

Suatu berkah tersendiri jika saat traveling bisa berjalan bersama warga lokal, seperti hari terakhir ini. Banyak detail yang memperkuat reportase perjalanan untuk majalah tempat Haba bekerja. Hal-hal yang tidak diperoleh hanya dengan riset komputer atau pustaka.

Dia menikmati kebersamaan mereka, walaupun singkat. Bersyukur bisa bertemu kembali, walaupun tidak disengaja. Lelaki itu dijumpainya sedang berdiri di area masjid Hyunjin, satu diantara masjid tertua di Seoul, yang memang menjadi incaran sejak hari pertama Haba tiba.

Pekerjaan Chanyeol sebagai Produser musik dan juga sebagai pemilik satu biro travel di Seoul, membuatnya seperti pusat informasi berjalan. Dia mengajarkan Haba cara meminum teh yang dihidangkan dimeja, sebagaimana masyarakat setempat melakukannya.

Bahkan mengajarinya kalimat baru.

"Chiyo yocheong"

"Yes, you have a gift in learning new language, Ashima."

"Haba."

"Ashima."

Lelaki itu tersenyum lembut, bersikeras tidak mengubah panggilannya. Tidak juga memberitahu arti kalimat yang diajarkan, walaupun Haba meminta berulangkali. Yang penting, menurut Chanyeol, kalimat itu bukan sesuatu yang tak pantas diucapkan gadis terhormat.

"Just practise, Ashima."

"Haba."

"No," lelaki itu menggeleng,
"Forever your Ashima for me."

Senyum simpatiknya muncul. Perdebatan selesai.#

           ***

Kalo ada yang nanya kenapa si Chanyeol manggil Haba dengan nama Ashima, itu karena Haba mirip sama tokoh Ashima dalam cerita legendaris tentang perjuangan cinta sejati berasal dari China yang jadi cerita favoritnya si Chanyeol. The next chapt aku bakal ceritain sedikit cerita favorit Chanyeol tersebut secara singkat atau intinya.
Oke see you the next chapt.^_^||

Convert(Park Chanyeol)#the EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang