2.Haba

170 14 0
                                    

Jilbab warna cerahnya tertiup angin kencang yang mengembuskan hawa dingin November. Jauh dari suhu di Seoul beberapa jam lalu yang dingin,Sampai menimbulkan kebas hingga sulit menggerakkan bibir, memaksa gadis itu merapatkan mantel tebalnya begitu keluar dari bandara.

"Jangan khawatir, Korea selatan maju kok, pasti banyak yang bisa bahasa inggris!"

Oh, ingin disumpalnya bibir mungil Anissa, sahabatnya. Kenyataannya, begitu selesai dengan urusan bagasi, dia memerlukan waktu hampir empat puluh menit dan enam orang bermata sipit, hanya untuk menemukan bus yang akan membawanya ke Hotel yang telah dipesan.

Orang ketiga dan keempat bahkan hanya melengos dan buru-buru menggeleng tepat pada menit gadis berwajah ayu itu memulai percakapan dalam bahasa inggris.

Begitu jauh dari tanah air.

Debar didada masih berlanjut. Dengan kendala bahasa,menemukan bus yang tepat tidak berarti dia langsung tahu waktu untuk melompat turun. Tentu saja, saat memesan penginapan,Haba mengantongi peta lokasi, tetapi hanya nama perhentian bus. Dan, berapa lamakah dari bandara hingga sampai ke perhentian bus itu?

"Only twenty minutes"

Haba menghembuskan nafas lega. Akhirnya pertolongan Allah datang juga lewat pemuda dengan rahang tegas dan sepasang mata cerdas yang bersinar lembut. Lelaki itu meletakkan tas ranselnya yang tampak lusuh di rak diatas kursi, sebelum duduk disisinya.

Akhirnya, seseorang yang mengerti bahasa inggris!

"Thank you." ucapnya penuh rasa terima kasih.

Pemuda ini membalas dengan senyum hangat. Ada sesuatu di tarikan ujung-ujung bibirnya. Sosok tampan dengan tubuh menjulang itu tak hanya tersenyum dengan bibir, tetapi juga matanya. Haba cepat-cepat menundukan wajah saat mata mereka bertemu. Merasa bersalah telah lancang menikmati wajah asing disisinya.

Jika Annisa tahu, pasti angan-angan romantis gadis bertubuh besar itu bertebaran, seperti pesannya sebelum berangkat.

"Berdoa, bismillah. Siapa tahu tugas berbonus calon suami. Amiiin."

Kemungkinan kecil, bantah Haba dalam hati.
Pertama kulitnya yang agak gelap, sudah pasti kalah bersaing dengan gadis-gadis setempat yang seputih susu. Kedua, wajahnya mungkin tidak jelek, tetapi juga tidak terlalu cantik.
Ketiga, peluangnya akan jauh lebih besar jika ia bertemu seseorang dalam keadaan baru mandi dan masih wangi sabun. Bukan seperti sekarang, usai tergopoh-gopoh mencari bus dengan satu tas ransel berat di punggung, tas kamera dan satu koper lumayan besar, yang membuat wajahnya berminyak sempurna. Risiko memanfaatkan perjalanan tugas sekaligus jatah cuti.

Lagi pula belum saatnya memulai hubungan baru.
Dan, walaupun sekadar memikirkan, dia tak yakin sanggup membayangkan pernikahan dengan pasangan berbeda budaya dan agama.

"Jangan pesimis." suara Nisa terngiang lagi. "Komunitas muslim di Korsel lumayan banyak! Siapa tahu?".

Hei, tidak tahukah gadis itu bahwa cinta memerlukan waktu? Begitu lama pendekatan dan baru menjelang lulus dia mempercayakan hatinya pada seseorang. Lagi pula berapa peluang menemukan lelaki muslim di Seoul? Pertambahan populasi muslim di negeri ini setahun nya hanya berapa persen.

Bus mulai bergerak. Haba membuka mata lebar-lebar. Mencoba menerobos gelap malam yang mulai membentang. Berharap langit biru tua akan melarutkan berbagai pikirannya yang campur aduk.

Tak terlalu berhasil memang. Tapi sedikit banyak pemandangan diluar jendela ditambah deretan lampu besar kecil yang muncul bergantian, membuat pikirannya lambat laun mengalir teratur seperti helaan nafasnya.

Kadang-kadang diam itu nikmat. Tanpa kata-kata. Hanya duduk dan membiarkan sepasang matanya bebas mengikuti cahaya lampu di kejauhan yang serupa kunang-kunang berlarian.

" I'm Chanyeol, Park Chanyeol."

Lelaki disisinya sekonyong-konyong menyodorkan tangan.

Haba merespon dengan senyum sambil mendekapkan tangan didepan dada,"Haba."

Meskipun merasa aneh dengan sikap Haba, lelaki itu cepat menarik tangan yang disodorkan.

"Your name is Haba?"
Sebenarnya masih ada embel-embel setelah itu, tetapi apakah penting?

Haba mengangguk. Seketika ada keriangan kanak-kanak di cercah senyum Chanyeol.

"Haba?"

Apa yang begitu aneh dengan namanya yang sederhana?

Pemuda disisinya lalu diam, dengan senyuman yang belum luntur dari bibir bahkan matanya.
Haba tak terlalu ambil pusing.

Tak lama, Haba sedikit terkejut karena pria di sebelahnya seperti menyadari sesuatu, tergesa berdiri serta mengambil ranselnya.

Pemuda itu mengangguk santun sambil tergesa-gesa menyodorkan kartu nama sebagai pelengkap janji bahwa mereka akan bertemu lagi.

"Call me if you need a help or someone to ask to, ok?"

Haba mengangguk.

Jika Nisa disini, dia pasti sudah berteriak dan melompat-lompat kegirangan. Sahabatnya yang berkerudung panjang itu bisa menjelma anak-anak dalam sekejab ketika terlalu antusias.

Sebuah kartu nama yang berarti janji temu.

Sayang, hanya angin dan gelap malam yang menjadi saksi saat sehelai kartu nama putih dengan tinta biru tua itu melayang jatuh di trotoar dan dengan cepat terinjak arus naik turun penumpang bus di halte.

Ya, Haba dengan kecerobohan kecilnya menghilangkan kartu nama itu, bahkan sebelum sampai di penginapan.

Convert(Park Chanyeol)#the EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang