Bab 9 [Warning: 21+]

16.1K 682 5
                                    

Tolong dibaca peringatan baik-baik, bahwa tulisan di bawah akan full dengan konten yang DEWASA. Jadi, dimohon pengertiannya. Yang takut dosa dan masih di bawah umur, silahkan tidak membaca. Skip aja ke bab berikutnya.

Sekali lagi aku memberi peringatan. Jangan bilang aku mengajak dosa, ya ... Nulis ini aja aku sebenarnya udah keringat dingin dan sedikit menyesal. Bingung sendiri. Kenapa arah cerita jadi begindang.

Jadi, perhatian. Sekali dan terakhir kali. Diharap yang masih dedek - dedek emesh hengkang. Masih polos juga Out. Dan jika masih lanjut dibaca. Tolong dosa tanggung sendiri. Dan jangan caci penulisnya, huehehe ~

Aku hanya menulis sesuai alur dalam otakku.  -XOXO

ps. jangan lupa vote, follow, dan komentar.

******

Tanpa suara, aku mengikuti Haist. Masuk ke dalam apartemen pria itu. Melihat ruang gelap dengan pernak-pernik rumah yang tidak banyak.

Tap!

Aku menghentikan langkah begitu Haist diam. Mendongakkan wajah. Melihat wajah tegas yang kini menoleh padaku. Menyiratkan satu permintaan yang amat aku pahami.

"Apa kamu ingin lari?"

"Kenapa bertanya? Tadi kamu yang memaksa diriku."

"Aku hanya menawarkan kesempatan terakhir."

"Kalau aku menerima tawaran dan memutuskan untuk pulang, maka kamu akan melepasku, begitu?"

"Tidak. Karena tawaran yang aku beri ditambah bonus."

"Apa bonusnya?"

"Godaan manis yang membuatmu tidak ingin pulang."

Lagi-lagi Haist tersenyum. Di bawah temaram bulan. Amat tampan dengan kulit cokelat mengkilat. Lekuk wajah yang jelas. Dan alis hitam yang terukir sempurna dengan lengkung yang tepat. Pria sesempurna ini ... jika bukan dalam dunia fiksi seperti sekarang, mana mungkin ia akan jatuh cinta pada wanita biasa sepertiku.

Karena tangan kiriku digenggam erat oleh Haist, maka pelan aku mengangkat tangan kanan. Merasa penasaran. Ingin menyentuh wajah yang amat tidak nyata itu.

"Pria sepertimu ... kenapa pula bisa menginginkan diriku?" tanyaku tepat saat mata kami bertemu. Masih dengan satu tangan yang menyelusuri setiap sudut wajahnya.

"Siapa juga yang tidak menginginkan wanita sejujur dirimu? Bertemu denganmu terasa sebagai satu anugerah bagiku. Harapan di tengah kelam duniaku."

Deg!

Tanganku berhenti mengagumi lembut wajahnya. Dengan mata yang terserap dalam iris cokelatnya. Dan jantung yang berdebar cepat karena kalimat manisnya.

"Aku tidak suka menunggu," ucapku sembari tersenyum.

"Aku juga tidak suka," balasnya dengan raut wajah tak kalah bahagia.

Kemudian, seperti sebuah janji yang harus ditepati, Haist sudah mendekat. Ke arahku. Dan tanpa jarak yang memisah, wajah kami telah menyatu. Dengan bibir yang menyentuh. Saling menggoda satu sama lain.

Selanjutnya, aku tidak lagi perlu berpikir. Seperti satu insting alami, aku hanya mengikuti gerak Haist. Saat ia mendorong, maka aku akan menekan kembali dirinya. Menggerakkan kedua tangan. Melingkar di atas punggung hangatnya.

Terasa amat membuat mabuk. Bagai sebuah badai. Liat gerak lidahnya dalam mulutku telah menyulut api gairah. Tangan kekar yang menangkup kedua bokongku, membuat basah nikmat yang tak dapat aku ungkap dengan kata.

[End] Ending MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang