[NOVEL, Romance-Fantasy]
Kisah tentang Salsa. Seorang penulis kejam tanpa cinta.
"Penulis itu Tuhan! Jadi, jangan coba menghalangi aku untuk menyiksa tokoh antagonis!" kataku dengan semangat.
Memang fakta, 'kan? Bahwa tokoh antagonis itu jahat! Ke...
Aku menjalani hari seperti biasa. Datang ke kantor. Menyelesaikan pekerjaan. Dan ... bertemu dengan Haist. Tidak seorang diri, karena ada Ella yang menemani. Aku yang meminta wanita itu untuk ikut makan malam bersama kami.
Aku pikir, jika aku terus berpura-pura. Merasa kuat dan melupakan perasaan yang ada, maka aku dapat melepas Haist dengan mudah. Namun, semakin aku berusaha untuk menipu diri, maka semakin banyak pula sakit yang harus aku simpan saat melihat Ella dan Haist berbincang bersama. Semakin dekat. Seolah melupakan keberadaan diriku.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Trang!
Aku meletakkan garpu dan sendok. Melihat sejenak Haist dan Ella. Kemudian pamit untuk pergi ke toilet. Mereka hanya mengiyakan perkataanku dan kemudian kembali fokus dengan dunia sendiri.
Bahkan, di saat aku sudah bangun dari tempat duduk. Berjalan pergi menjauhi meja, tetap saja Haist hanya melihat Ella seorang.
Kriet!
Aku membuka dan menutup kembali pintu toilet. Melangkah ke depan cermin panjang yang terpasang tepat di tengah ruangnya. Melihat pantulan wajahku sendiri.
"Hah ... kamu benar-benar menyedihkan, Salsa. Kamu yang mempertemukan mereka dan pada akhirnya kamu juga yang ditinggalkan. Memang sejak awal aku sudah menduga. Cinta Haist yang terasa indah itu layaknya sebuah mimpi. Dan aku sadar ... sadar bahwa mimpi hanyalah ilusi sesaat yang akan menghilang tepat di saat kamu telah jatuh amat dalam pada buainya. Kembali pada nyata yang pelik. Jauh dari kata bahagia."
Aku menghela napas berat dan tersenyum. Bukan senyum karena hati senang. Namun, satu senyum mengasihani ... merasa amat sedih pada takdir yang harus aku terima.
******
Selasa, 24 Desember
Aku mengabaikan ajakan bertemu dari Haist. Pesan pria itu pun hanya aku balas beberapa kali. Aku ingin membatasi hubungan dengan dirinya. Tidak ingin makin menyiksa diri sendiri.
Lagi pula, pekerjaan di kantor juga kebetulan sedang padat. Mielten tidak henti-hentinya mengatur jadwal pertemuan untuk diriku. Belum lagi si Tua Bangka Stamford masih saja menghubungi diriku. Meminta tolong untuk membantu dirinya. Mulai memberi ancaman yang tidak masuk akal.
Sepertinya, perusahaan pria itu sudah berada di ujung tombak. Badan audit pasti sebentar lagi akan bergerak untuk menyidik keuangan perusahaan itu. Dan ia ingin aku ikut masuk dalam lubang jurang tersebut?!