Jangan lupa vote dan komentar
-XOXO
********
Tak! Tak! Tak!
Berulang kali aku mengetuk ujung pulpen pada permukaan meja. Berusaha untuk terus berpikir. Tetap waras di tengah situasi aneh yang terjadi. Walau nyatanya sulit. Amat mustahil tepatnya.
Siapa juga yang masih bisa tenang jika berada dalam kondisi sama sepertiku?! Terbangun di negara dan dunia berbeda dengan identitas lain pula! Setelah mendengar kebenaran dari Grietha, aku bahkan sempat pingsan. Selama kurang lebih lima jam. Berharap jika semua hanya mimpi.
Namun, harapanku tidak terkabul. Saat membuka mata, aku masih dapat melihat ketiga orang itu. Dua pelayan dan seorang adik. Tanpa orang tua, karena sesuai cerita yang aku buat, orang tua kami harusnya telah meninggal karena sebuah kecelakaan pesawat.
"Lalu, bagaimana caraku agar dapat kembali ke dunia nyata?" gumamku pelan dengan pandang kosong melihat layar ponsel.
Jika sesuai dengan jalan cerita yang ada, maka harusnya peranku ini akan menyiksa Ella. Membuat wanita itu hidup bagai dalam neraka, lalu berusaha merebut pria yang mencintai dirinya, walau gagal. Dan akhirnya, pria yang mencintai Ella akan merebut perusahaan keluarga kami dari tanganku. Membuat aku akhirnya mati bu-
Brak!
"Hah?! Aku baru ingat! Tokohku ini adalah tokoh antagonis yang akan berakhir dengan bunuh diri!" teriakku sembari menggebrak meja. Melupakan pulpen yang terlempar entah ke mana. Makin merasa frustasi dengan segala realita yang terpapar.
"Kenapa? Kenapa aku harus menulis cerita seperti ini?! Tentang kisah cinderella modern, yang disiksa oleh Kakak Tirinya. Dan Kakak Tiri yang dimaksud adalah aku!"
Dengan lemas, aku kembali duduk. Merenung kembali dan mencoba untuk menyusun segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Tok! Tok!
Mendengar suara ketukan pada pintu kamarku, membuat kedua netra mataku refleks melihat lurus. Memperhatikan dengan seksama pintu kayu itu. Sampai akhirnya terbuka. Memunculkan seorang wanita cantik yang kini telah cukup aku kenal dari baliknya.
"Kak, Ella datang membawa makanan untuk Kakak."
"Hmm ... taruh saja di sana."
Aku menjawab sekenanya sambil menunjuk sudut meja. Membuat Ella perlahan kembali berjalan. Melangkah pelan dan semakin mendekati diriku.
"Tadi ada telepon dari kantor, Kak. Nona Mielten bilang jadwal Kakak untuk hari ini akan ia atur kembali, terutama janji dengan Tuan Stamford."
"Mielten? Stamford? Siapa mereka?"
Wanita berwajah mungil dengan tubuh yang lebih kecil dan ramping dariku itu, kini menampilkan raut bingung. Sedikit memiringkan kepala. Mengerutkan dahi, dan membuka bibirnya, "Apa Kakak sakit? Semenjak terbangun tadi, Kakak jadi aneh. Tiba-tiba pingsan. Melupakan aku dan pelayan pribadi Kakak. Terus mengurung diri di kamar. Tidak masuk kantor. Dan sekarang, malah melupakan asisten pribadi Kakak sendiri."
Ah, benar ... aku punya asisten pribadi yang membantu diriku untuk mengatur jadwal kantor. Dan Tuan Stamford, setahu aku dia adalah salah satu pengusaha yang akan aku ajak kerja sama untuk nanti membunuh Ella.
"Aku hanya merasa lelah. Kamu tidak perlu khawatir. Sekarang sudah siang, 'kan? Lebih baik kamu cepat pergi ke panti asuhan. Ajar anak-anak di sana," jawabku pelan tanpa melihat Ella. Kalau boleh jujur, melihat wanita itu hanya makin membuatku merasa mual. Makin merasa pusing dengan sikap lemotnya yang kelewat baik.
"Ka ... Kakak ... darimana Kakak tahu aku setiap hari pergi ke panti asuhan dan mengajar di sana?"
"Apa?!"
Dengan kedua mata membulat lebar, aku melihat Ella. Ikut terkejut karena tanpa sadar telah membocorkan rahasia wanita itu.
"Aku minta maaf, Kak. Tolong jangan marah. Aku tidak bermaksud untuk bolos kuliah dan hanya bermain-main di sana. Aku ... aku benar-benar tidak berniat untuk menghabiskan uang yang Kakak susah payah dapatkan di tempat itu."
Ella sudah duduk berlutut di dekatku. Menunduk takut dengan badan gemetar. Jika, sesuai cerita, harusnya tokohku ini tahu masalah Ella yang ke panti asuhan di beberapa chapter selanjutnya. Dan aku ... harusnya amat murka, lalu mengurung Ella dalam gudang.
Tapi, aku yang sekarang, tidak cukup kejam untuk melakukan semua itu. Lagi pula, aku tidak punya dendam apa pun dengan wanita ini. Yang aku inginkan hanya kembali ke rumah. Ke dunia asalku.
Membongkar rahasia Ella seperti ini, juga pasti akan mulai membuat kacau seluruh cerita. Jadi, aku harus apa sekarang? Menjadi tokoh jahat dan melanjutkan cerita? Atau merubah takdir si tokoh antagonis ini, agar aku bisa tetap hidup dalam cerita?
"Kak? Kenapa Kakak tidak meneriaki diriku seperti biasa?"
Sudahlah, sekarang yang teraman bagiku adalah bersikap biasa. Tidak terlalu baik agar cerita tetap berjalan. Dan tidak terlalu jahat agar hidupku dalam cerita juga tidak berakhir dengan bunuh diri.
"Ehem! Aku ini sudah lelah meneriaki dirimu. Kamu tahu sendiri kalau sekarang ini aku sedang sakit, jadi jangan lagi menambah masalah padaku."
"Ella minta ampun, Kak! Ella tidak akan lagi pergi ke sana."
"Aku hanya meminta dirimu untuk tidak menambah masalah. Dan urusanmu di sana juga tidak terlalu mengganggu hidupku, jadi pergilah. Pergi selama hatiku masih baik."
"A ... apa Ella benar boleh ke sana, Kak?"
Aduh, anak ini bebal sekali, sih. Pantas saja ia dibenci Kakak Tirinya. Sudah bolos kuliah, hanya bermain-main dengan anak kecil, dan sekarang ... masih saja bersikap bebal sok polos.
Kamu harusnya bersyukur, Ella. Tanpa tokoh Lily. Tanpa Kakak Tirimu, mungkin kamu sudah kehilangan perusahaan dan menggelandang sekarang.
Dengan masih menunduk, aku melihat kedua iris birunya. Menghela napas, kemudian pelan berkata, " Pergilah sekarang. Melihatmu di rumah malah makin membuat hatiku lelah. Jadi, pergilah. Kalau perlu, kamu ajak saja seluruh pelayan bersamamu. Aku ingin sendiri sekarang."
Dan tanpa menunggu lagi, Ella langsung berdiri. Memegang kedua tanganku dengan tangannya. Berbinar penuh bahagia di wajah.
"Baiklah, Kak. Aku akan membawa seluruh pelayan hari ini ke panti asuhan. Terima kasih, Kak. Ella benar-benar bersyukur karena telah memiliki Kakak di sisi Ella."
Karena tidak nyaman, aku menarik kedua tanganku.
"Hush! Hush! Sudah sana keluar!" usirku tanpa melihat Ella. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku tidak terbiasa mendapat ucapan terima kasih dan bersikap baik seperti ini. Bahkan, di dunia nyata sekali pun, aku tidak pernah berbuat baik. Aku hanya menebus dosa ....
"Kalau begitu, Ella pergi dulu, Kak. Selamat istirahat!"
Bam!
Pintu kamarku akhirnya tertutup begitu Ella keluar. Membuat suasana dalam kamar kembali sepi. Tenang dan nyaman bagi kesehatan mentalku.
"Ah, harusnya dari tadi saja aku minta mereka pergi. Dunia tanpa gangguan seperti ini memang yang paling terbaik."
Aku kembali bergumam seorang diri sembari menyandarkan punggung pada badan kursi. Dengan wajah mendongak ke atas. Memperhatikan langit-langit kamar yang berwarna putih, maka aku mulai menarik kembali oksigen. Sebanyak mungkin, takut jika sampai Ella datang kembali dan merusak suasana yang ada.
"Lebih baik aku tidur sebentar. Istirahat ... mungkin adalah pilihan paling terbaik untuk sekarang aku lakukan," lanjutku sembari memejamkan mata. Menutup cahaya. Tenggelam dalam gelap dunia.
*******
"Aku pikir menjadi jahat itu adalah satu hal yang mudah. Namun, aku salah. Menjadi jahat tanpa alasan, sepertinya tidak akan ada manusia yang dapat melakukan peran seperti itu. Di balik sikap jahat yang terlihat, peranku ini menyembunyikan banyak sakit dan kesepian yang tidak terlihat."
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Ending Moment
Fantasy[NOVEL, Romance-Fantasy] Kisah tentang Salsa. Seorang penulis kejam tanpa cinta. "Penulis itu Tuhan! Jadi, jangan coba menghalangi aku untuk menyiksa tokoh antagonis!" kataku dengan semangat. Memang fakta, 'kan? Bahwa tokoh antagonis itu jahat! Ke...