Nara mengetikkan pesan singkat untuk ojol yang sedang menanyakan posisinya untuk dijemput. Hari ini si manis di bawa oleh Ana.
Temannya yang satu itu sedang ada tugas kerja ke Jakarta. Jadi daripada harus menggunakan kendaraan umum, Nara menawarkan si manis miliknya.
Nara mengetuk-ngetukkan skechers hitamnya. Sudah lebih dari setengah jam namun ojol pesanannya belum juga datang.
Bagian bawah perutnya sakit. Padahal seharian ini dirinya juga tidak makan menu macam-macam. Hanya soto ayam dan es teh manis di kantin kantor.
Sang ojol akhirnya menampakkan dirinya. Baru saja Nara hendak menuju ke motor sang ojol, terlihat Bian dari kejauhan berjalan menuju Nara.
"Longgarkan tas ransel kamu." perintah Bian.
"Ha? Bapak ada apa? Datang-datang bilang begitu." Nara heran dengan tingkah Bian.
Bian yang merasa harus bergerak cepat akhirnya melepaskan sendiri ransel dari punggung Nara kemudian dia longgarkan talinya sampai ransel tersebut lebih terlihat seperti tas slempang.
"Oh iya, kamu pulang sama saya saja." Bian mengeluarkan selembar lima puluh ribuan dari dompetnya dan memberikannya kepada ojol yang tadi sudah terlanjur dipesan Nara sembari mengucapkan maaf.
"Loh, gak bisa gitu dong Pak. Bapak suka seenaknya sendiri ya." Nara masih tidak terima.
Sang ojol hanya bisa terdiam mengamati perdebatan dari dua orang di depannya.
"Ini perintah Nara."
"Maaf sekali lagi Pak. Pacar saya lagi ngambek jadi gak mau pulang bareng. Biasa lagi PMS Pak." jelas Bian pada sang ojol.
Nara melotot kepada Bian. Yang dipelototin hanya bisa tersenyum sambil melambai kepada sang ojol.
"Bapak apa-apaan sih? Perut saya itu udah mules. Saya mau cepet sampe rumah. Saya mau tidur. Zia sama Sheina udah balik. Si manis lagi dibawa Ana. Ditambah sekarang bapak batalin ojol saya. Mau bapak apa?"
Bian tak dapat menyembunyikan senyumnya. Ini kalimat terpanjang yang Bian dengar dari mulut Nara setelah mereka bertemu kembali.
"Emang kamu gak malu naik ojol dengan kondisi rok kamu yang penuh bercak itu?" tanya Bian kalem.
"Bercak?" Nara kebingungan.
"Sepertinya kamu emm...tembus." Bian memilih kata yang tepat. Sejujurnya dia juga malu harus menyampaikan hal ini kepada Nara.
Nara berpikir sejenak. Seakan baru memahami maksud Bian, pipinya bersemu merah.
Blush!
"Pulang bareng saya. Tunggu di sini, saya ambil mobil dulu." Bian melangkahkan kaki menuju parkiran.
10 menit kemudian Fortuner Bian sudah meluncur membelah jalanan Kota Bogor yang lumayan macet karena memang ini jam pulang kantor.
"Kamu kenapa? Sakit?" Bian mengamati Nara yang tampak tidak nyaman.
"Eh saya gak enak aja. Takut... ini jok mobil bapak... em gimana ya? Aduh..." Nara tersendat-sendat menjelaskan.
Nara menunjuk roknya dan jok mobil Bian bergantian. Berharap kodenya bisa tersampaikan kepada Bian.
"Oh itu. Santai saja." Bian terus melajukan mobilnya menuju kontrakan Nara.
Sesampainya di depan kontrakan, Nara segera turun dari mobil Bian. Tangannya langsung merogoh ranselnya hendak mengeluarkan kunci rumahnya.
Nara menepuk pelan keningnya. Dirinya baru ingat kalau kunci rumahnya jadi satu dengan gantungan kunci si manis.
Sedangkan si manis sedang dibawa oleh Ana. Padahal sekarang yang dia inginkan hanyalah tidur di kasur empuk kesayangannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
(Un) finished Business - END
Romance"Saya tidak tahu tujuan Bapak hadir kembali di hidup saya. Bersikap seolah kita tidak saling mengenal sebelum ini. Asal Bapak tahu, saya justru berharap kita tidak pernah saling mengenal. Saya permisi." "Silahkan. Asal setelah ini tatapan kamu tidak...