Bab 12

17K 1.4K 39
                                    

Sudah beberapa hari belakangan ini Nara menghindari Bian. Nara merasa mereka berdua memang butuh waktu sendiri.

Bian pun memberi ruang untuk saling intropeksi diri. Seperti hari ini, Bian justru meminta tolong Zia untuk mengerjakan tugas rekap data yang seharusnya dikerjakan oleh Nara.

"Pak Bian kenapa sih? Akhir-akhir ini aneh banget. Ini kan tugas lo, kenapa jadi gue yang ngerjain?" Zia berujar kesal kepada Nara.

Nara hanya mengedikkan bahunya dan kembali fokus pada layar PC di depannya. Nara sadar ini bukan sepenuhnya salah Bian namun, dirinya membutuhkan waktu untuk mencerna semuanya.

Bahkan semakin hari Bian juga seakan ikut menghilang di telan bumi. Pengalihtugasannya kepada Zia pun hanya dilakukan via telepon.

Cih. Memang sesibuk apa dia.

"Heh! Malah ngelamun." Zia menepuk pundak Nara sampai menimbulkan bunyi cukup keras.

Nara yang sedari tadi melamun langsung tersadar dan melotot ke arah Zia, "Apaan sih?"

"Makanya jangan ngelamun terus. Lo pasti gak dengerin kan dari tadi gue bilang kalau Pak Bian sakit? Menurut gosip yang beredar sih doi sakit karena hujan-hujanan sama mantannya. Ups."

Nara terkesiap mendengar penuturan Zia. Benaknya berputar-putar kejadian ketika Bian mengejar Anca di foodcourt.

Tapi kan ketika itu tidak hujan. Apa mungkin Bian sempat bertemu lagi dengan Anca setelah hari itu?

Tiba-tiba saja dia tidak suka dengan praduganya sendiri meskipun apabila dipikir masuk akal dan related dengan penuturan Zia barusan.

-----------------------------------------------------

Jam menunjukkan pukul empat sore, itu artinya jam kantor sudah usai. Hari ini merupakan hari tersantai versi Nara. Biasanya dia baru akan pulang menjelang Magrib karena harus berdiskusi terlebih dahulu dengan Bian.

Belum lagi jika mereka berbeda pendapat, harus ada salah salah satu yang mengalah karena kalau tidak bisa-bisa mereka berakhir menginap di kantor bersama karena perdebatan yang alot.

Nara merasa hampa. Ia tidak tahu harus berbuat apa sementara ia harus menghindari Bian. Namun dirinya tidak memungkiri jika sebersit hatinya merasa rindu dan khawatir.

Nara mengendarai si manis membelah padatnya jalanan Kota Bogor di sore hari. Ketika menunggu kemacetan, matanya menangkap outlet roti bakar khas Bandung di pinggir jalan.

Nara tiba-tiba saja teringat Bian. Bian ketika sakit bisa sangat manja. Bahkan ia ingat sampai harus bolos kuliah satu hari penuh demi merawat Bian di kosan semasa kuliah dulu.

Lebih dari itu, untuk urusan makan pun Bian hanya mau masakan Nara dan disuapi olehnya. Anak balita saja kalah manjanya dengan Bian.

Secara impulsif Nara meminggirkan mobilnya. Ia memesan roti bakar rasa keju melon, rasa favorit Bian dulu. Semoga saja sampai sekarang rasa favorit Bian tidak berubah.

-------------------------------------------------------

Nara disergap perasaan ragu ketika dirinya sudah sampai di depan pintu apartement Bian. Pikirannya berkecamuk antara harus menemui Bian atau segera pergi saja dari sini.

Lamunannya terhenti ketika tiba-tiba saja pintu di depannya terbuka. Menampilkan Bian dengan wajah pucat khas orang sakit.

"Loh Nara, ada apa kamu kesini?" heran Bian.

Nara kehilangan kata-kata yang sudah disusunnya sejak tadi sebelum kesini. Nara tergagap sebelum menjawab, "Eh itu, ini, tadi kan saya lewat outlet roti bakar. Terus keinget Bapak. Eh bukan keinget, ada diskon, jadi saya beli."

(Un) finished Business - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang