"Berhentilah bercanda, Mark!" sentakku menyingkirkan tangan nakalnya yang hendak berlabuh di area sensitifku. "Pembicaraan kita belum selesai." tekanku lagi memberinya peringatan. Diapun mengalah, dan memfokuskan kembali perhatiannya padaku.
"Apalagi yang ingin kau katakan?" tanyanya kemudian dengan nada malas. Tentu saja aku tahu apa yang paling dia inginkan saat ini. Tapi tidak! Bukan waktunya kami untuk bermesraan hingga lupa diri, masih ada banyak hal yang harus kujelaskan padanya.
Berbaring saling berhadapan, tubuh kami begitu dekat,nyaris tidak ada jarak. Lengan kekarnya memelukku dengan sebelah kakinya ditumpukan pada betisku. Dalam hati aku mengumpat tatkala tubuhku bergerak sedikit dan tanpa sengaja menyentuh sesuatu di bawah sana yang sedang terjaga. Namun aku berusaha tenang tidak terpengaruh sama sekali.
"Kau sudah menolak putrinya. Meskipun terkesan sederhana, tapi ini bisa saja terjadi." ungkapku padanya. "Seorang ayah tidak akan tinggal diam melihat putrinya yang terluka, sebaiknya kau harus mencari tahu apa yang terjadi pada Emely, hingga membuat Rudolf berubah membencimu." jelasku lagi.
"Sebenarnya, aku sempat mendengar kabar bahwa Emely mengalami kecelakaan tunggal, dia tewas di tempat kejadian. Tapi aku sama sekali tidak tahu penyebab pasti kecelakaan tersebut."
"Apa mungkin Rudolf menyalahkanmu atas kematian putrinya? Kita tidak tahu kesimpulan apa yang telah dia ambil hingga membuatmu seolah menjadi tersangka utama atas kematian putrinya."
"Itu tidak masuk akal." tukasnya tidak terima. "Aku bahkan tidak tahu secara pasti kapan kejadian itu, aku hanya mendengar kabar dari orang lain. Lagipula semenjak aku mengenalmu, Emely memang nyaris tidak pernah menemuiku lagi. Aku menganggap dia sudah menyerah karena aku telah menentukan pilihanku sendiri."
"Jadi memang karena aku? Kau mengabaikannya karena sibuk mengejarku saat itu."
"Tidak! Bukan karenamu, ini memang sudah takdir. Dan aku sendiri yang menentukan pilihanku padamu."
"Tapi saat itu kau melakukan pemaksaan padaku, masihkah kau mengatakan bahwa itu semua takdir." ujarku kesal seraya memicingkan mataku.
Sudut bibirnya tertarik ke atas. Dia justru hanya terkekeh. "Yang jelas kau sudah menjadi milikku." Dia semakin mengeratkan pelukannya.
"Kau tidak tahu saja, dampak apa yang kualami saat kau intens mendekatiku, apalagi saat kau memaksaku menikah denganmu."
"Apa maksudmu?" Marcus mengerutkan keningnya. Aku menghela napas berat, inilah saatnya. Aku harus menceritakan semua ini padanya.
"Sebenarnya saat kau mendekatiku, saat itu pula hidupku menjadi tidak tenang, aku terus -terusan menerima terror bahkan dari orang yang sama sekali tidak kukenal, awalnya aku tidak mengerti penyebabnya aku mengira itu hanya ulah antifans yang tidak menyukaiku."
"Kenapa saat itu kau tidak mengatakannya padaku!"
"Aku pikir itu bukanlah hal yang penting! Aku bukan wanita yang suka merengek dan bersembunyi di balik ketiak pria, aku menganggap terror-teror itu hanyalah angin lalu, berusaha menjalani hari-hariku seperti biasanya.
"Kau memang wanita keras kepala, seharusnya kau bercerita padaku, agar aku bisa melindungimu." sergahnya terlihat gusar.
"Kau ingat saat aku menginginkan kita pergi Honeymoon?" Dia mengangguk.
"Sebenarnya itu hanya alasanku saja. Saat itu, sehari sebelum kita pergi ... "
Ingatanku kembali melayang pada pertemuan pertamaku bersama Rudolf. Pria paruh baya itu tiba - tiba saja mendatangiku di apartement, saat Marcus masih berada di kantor.
KAMU SEDANG MEMBACA
RIOTOUS - [ End ]
Storie d'amoreApa kau pikir aku akan menyerah begitu saja? Tidak akan pernah! Kau akan tahu sendiri, apa saja yang bisa kulakukan untuk memenangkan permainan takdir ini. Tidak perduli seberapa keras kau menolaknya. ~Marcus ~...