Apa yang baru saja terjadi, mengingatkanku kembali pada sesuatu. Apakah mungkin teror - teror yang ku alami beberapa tahun lalu akan kembali menghantuiku.
Aku mengingatnya. Saat itu aku dan Marcus baru saja menikah. Namun kami bukanlah sepasang suami istri yang hanya diliputi aura - aura keromantisan pasangan baru. Kami justru lebih sering berdebat hanya karena hal - hal kecil remeh temeh seperti Marcus yang ingin menjemputku saat aku pulang dari pemotretan, namun aku menolaknya mentah-mentah. Aku sangat menyadari kesibukan pria itu, Marcus bahkan lebih sering lembur dan pulang sangat malam.
Pada hari itu aku benar - benar pulang sendirian tanpa diantar Grace karena manager sekaligus sahabatku itu sedang ada urusan lain bersama kekasihnya. Para crew yang masih sibuk membereskan perlengkapan setelah pemotretan tidak terlalu memperhatikan lagi keberadaanku karena pekerjaan kami hari itu telah selesai.
Untung saja Grace meninggalkan mobilnya bersamaku, jadi aku bisa pulang dengan menyetirnya sendiri. Kulirik jam digital di dashbor mobil yang menunjukkan pukul 9 malam. Sebenarnya sejak tadi aku merasa gelisah, seperti ada seseorang yang mengikutiku dari belakang. Aku melirik kaca spion mobil. Ada 1 mobil berwarna putih yang sejak tadi berada di belakang mobilku. Aku berusaha berpikir positif, mungkin itu memang pengendara biasa pada umumnya.
Aku berusaha menormalkan gemuruh detak jantungku yang terus memompa sangat cepat. Masih membutuhkan waktu sepuluh menit lagi agar sampai di apartement.
Suara dering ponsel membuyarkan rasa takutku. Mungkinkah Marcus sudah pulang lebih dulu dan mencariku? Aku segera memasang headsfree ditelinga. Sebuah suara serak nan berat langsung menyapa pendengaranku.
"Kau ingin pergi sendiri, atau kubuat pergi secara paksa."
Aku mengeryitkan kening mendengar perkataan aneh seseorang diseberang sana yang sama sekali tidak ku mengerti.
"Apa maksudmu? Siapa kau?"
"Tinggalkan Marcus."
Tepat setelah dua kata itu terdengar sambungan seketika langsung terputus. Dua kata terakhir itulah yang mengingatkanku kembali pesan- pesan singkat yang selama ini sering kuterima, dan isinya tidak jauh berbeda dengan yang terakhir pria asing itu katakan.
'Tinggalkan Marcus'
Kenapa aku harus meninggalkan Marcus? Kalaupun memang aku ingin pergi meninggalkan Marcus tentu saja hal itu harus dengan keinginanku sendiri, bukan suruhan orang lain. Seorang Renesya tidak suka di suruh-suruh.
"Keparat!" umpatan keras Aiden berhasil membawaku kembali pada memori saat ini.
"Wanita sialan itu berhasil lolos." ujarnya seraya berjalan mendekatiku, lalu berjongkok mengambil suntikan yang tergeletak di lantai.
"Aku akan mencari tahu cairan apa ini sebenarnya. Sekilas aku melihatnya tadi hanya tahu satu hal bahwa ada kandungan berbahaya di dalamnya. Aku akan memastikannya lebih dulu dan mencari tahu siapa dalang di balik semua ini." Aiden menaruhnya di atas nakas lalu duduk pada kursi di samping ranjangku.
"Kau masih ingat nama dan wajah suster tadi?" Aku mengangguk.
"Namanya Sofia, untuk wajahnya aku tidak terlalu ingat karena ruangan ini agak redup, tapi aku bisa mengenalinya jika kami bertemu lagi."
"Aku harus memberitahu Marcus segera agar dia bisa memperketat penjagaan disini."
"Tidak! Jangan beritahu apapun pada Marcus."
Aiden mengerutkan keningnya. "Kenapa kau selalu tidak ingin Marcus mengetahui apapun?"
"Entah mengapa aku merasa jika Marcus tahu lebih banyak, sesuatu yang semakin buruk akan terjadi."
"Apa maksudmu." Aiden tidak mengerti maksud ucapanku, sejujurnya aku sendiri tidak mengerti apa yang sedang kurasakan saat ini, perasaan tidak enak selalu menghantuiku, aku ingin memastikan apakah yang kualami ini ada hubungannya dengan masa lalu waktu itu? Apakah mungkin setelah 2 tahun lamanya orang itu masih menginginkan aku pergi dari kehidupan Marcus?
"Aku hanya merasa Marcus tidak boleh tahu banyak untuk saat ini."
"Tapi kenapa? Kau harus memberitahukan alasanmu Renesya?"
"Apakah ... Saat aku belum sadar. Ada seseorang yang juga ingin membunuhku?"
"Saat tak sadarkan diri, kau tidak pernah sendirian, Marcus selalu menjagamu, mulai pagi, siang, hingga malam dan sampai pagi datang lagi. Mungkin saja jika kau tidak mengusirnya saat ini Marcus sudah pasti akan menempel terus padamu."
Aku meringis mendengar jawaban Aiden yang seolah sedang menyindirku. Ya! Aku memang sengaja tidak ingin ditemani Marcus karena aku tidak akan sanggup lama-lama berbohong padanya. Aku tidak mungkin berpura-pura hilang ingatan disaat semua memori tentang kami memenuhi isi kepalaku.
"Aku masih sangat penasaran kenapa kau tidak ingin Marcus tahu mengenai ingatanmu yang telah kembali dan kejadian malam ini."
"Apa kau tidak mencurigai sesuatu?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan Aiden. Aku tidak nyaman harus membahas hubunganku bersama Marcus yang saat ini bisa dikatakan sedang kacau.
"Sejak kecelakaan 2 tahun lalu yang terjadi pada kalian, aku selalu mencurigai apapun, namun sayangnya belum ada bukti kuat yang bisa kutemukan hingga detik ini."
"Aku juga curiga semua ini ada hubungannya sebelum kami mengalami kecelakaan."
"Binggo! Inilah yang memang kutunggu. Cepat ceritakan padaku apa yang kau ketahui saat itu Renesya?"
Aku menggeleng. Lalu menengadahkan tanganku di depannya.
"Kau mau apa?"
"Pinjam ponselmu." Aiden langsung memberikan Ponsel miliknya.
Aku meringis melihat puluhan missed call dan pesan berisi umpatan dari Marcus yang mengatakan tidak rela karena Aiden lah yang bersamaku malam ini.
"Kau bisa lihat sendiri bagaimana gilanya Marcus tidak melihatmu beberapa jam saja."
"Bahkan dia masih saja curiga padaku yang jelas-jelas sudah memiliki Grace."
Aku tidak terlalu mendengarkan ucapan Aiden, jemariku sibuk mengetikkan sesuatu di layar ponsel tersebut, lalu menyodorkannya pada Aiden.
'Aku tidak bisa mengatakannya disini, terlalu beresiko.'
Aiden mulai paham apa maksudku. Ya! Aku hanya khawatir jika ruangan ini telah disadap. Dengan adanya seorang penyusup yang berhasil masuk, aku yakin pasti ada mata-mata di sekitar kami. Rumah sakit ini benar-benar tidak aman.
'Apa sebaiknya kita pindah rumah sakit saja?'
Tanya Aiden yang juga menuliskan kalimat tersebut di layar ponselnya. Aku menggelang.
Aku rasa hal itu tidak perlu karena nanti pasti akan ada pihak yang curiga. Dan aku terlalu malas menghadapi Marcus yang jelas - jelas tidak mengerti situasi apa yang sedang kami hadapi saat ini.
'Tunggu aku keluar dari rumah sakit ini saja, yang harus kau lakukan hanyalah memperketat penjagaanku dan cari tahu mengenai suster tadi, kau mungkin bisa menanyakan lebih dulu pada dokter yang menanganiku.'
Aku menyodorkan ponsel itu kehadapan Aiden. Ia kemudian mengangguk. "Kau tidurlah, ini sudah malam."
Akupun mulai memejamkan mataku, meskipun otakku sama sekali tidak dapat ikut terpejam. Aku masih terus memikirkan apakah semua ini ada hubungannya dengan pria itu.
Chieva
30 September 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
RIOTOUS - [ End ]
RomanceApa kau pikir aku akan menyerah begitu saja? Tidak akan pernah! Kau akan tahu sendiri, apa saja yang bisa kulakukan untuk memenangkan permainan takdir ini. Tidak perduli seberapa keras kau menolaknya. ~Marcus ~...