Prolog

34 9 0
                                    

Author POV

"Dinda?"

Cewek yang dipanggil Dinda itu tidak mengeluarkan reaksi sama sekali. Sejak bel istirahat tadi, Dinda duduk di pojok kelas menyandarkan kepalanya dengan mata terpejam.

"Dinda bangun woi? Ih kenapa sih kok gak bangun - bangun?!"

Mila mulai cemas, ia kira sahabatnya cuma pura - pura tertidur. Tapi sejak tadi, Dinda sama sekali tidak terusik, Mila menggoyangkan tubuh Dinda berulang kali dan hasilnya nihil. Cewek itu masih setia hingga akhirnya tubuhnya jatuh ke lantai membuat Mila memekik dan menimbulkan keributan.

"Astaga Dinda! Dinda bangun plis jangan buat gue takut, jangan mati disini"

"Si Dinda pingsan woi, bantu angkat ke uks!" kata Rizal si ketua kelas.

Dengan sigap, Rizal mengangkat tubuh Dinda. Tubuh Dinda tidak terlalu berat, normal saja itu memudahkan Rizal untuk membawa Dinda ke ruang uks yang untungnya bersebelahan dengan kelas mereka.

Setelah sampai, Frau Helen yang merupakan pembina PMR langsung datang dan menyuruh Rizal dan teman - temannya termasuk Mila untuk kembali ke kelas. Bohong kalau Mila nggak cemas, buktinya sekarang cewek itu sedang menggigit jarinya karena cemas akan keadaan Dinda.

Kurang dari satu jam, Dinda sudah bangun dari pingsannya. Perlahan matanya terbuka dan yang pertama kali ada dipandangannya adalah tirai putih. Ia tidak bingung, otaknya langsung memberi tahu bahwa ia sedang di uks sekolah.

Dinda mulai duduk sambil memegangi kepalanya yang agak pening. Pandangannya masih agak buram dan nafasnya masih sesak. Setelah dirasa cukup baik, ia mulai berdiri dan membuka tirai pembatas.

"Frau,"

"Eh, kamu sudah baikan nak?"

Dinda tersenyum sambil mengangguk.

"Kenapa bisa sampe pingsan kaya gitu? Kamu sakit?"

"Saya ngga apa - apa Frau, cuma tadi sedikit pusing terus tiba - tiba pingsan,"

Frau Helen awalnya tidak percaya dan memandang Dinda dengan tatapan tidak percaya. Tapi melihat kondisi Dinda sekarang, akhirnya Frau Helen mempersilakan Dinda kembali ke kelas.

Melirik jam tangannya, sekarang sudah waktu jam olahraga. Itu artinya Dinda harus bergegas ke kelas dan mengganti bajunya. Dikelas sudah tidak ada siapa - siapa, teman - temannya pasti sudah menuju kelapangan.

Dengan nafas tersenggal akhirnya Dinda sampai bertepatan dengan guru olahraga yang mengajar. Mila dan teman sekelasnya dibuat terkejut dengan kedatangan cewek itu. Herannya, begitu datang dengan nafas tersenggal,  Dinda malah menunjukan senyuman yang lebih seperti cengiran konyol.

"Hai gais?"

"Lo ngapain kesini?" Tanya Mila

"Olahraga lah, kocak Mila nih,"

"Lo kan lagi sakit, mending ke kelas aja deh, takut pingsan lagi" tambah Rizal yang diangguki oleh yang lain.

Jelas saja mereka peduli, ini sudah tahun kedua mereka sekelas lagi. Dari kelas sepuluh memang mereka meminta untuk di satu kelaskan lagi, karena rasa solidaritas yang tinggi. Sehingga saat ini mereka sudah sangat saling mengenal, tidak ada lagi kubu bahkan murid yang di bully.

"Terima kasih kalian udah perhatian sama aku, tapi aku gapapa kok, aku sehat, aku baik, aku cantik dan bersahaja"

Teman - teman yang lain mendelik lalu meninggalkan Dinda yang justru sedang tersenyum geli melihat reaksi temannya. Itulah Dinda, cewek yang selalu tersenyum dan tertawa bahkan saat sakit sekalipun.

"Lo beneran gapapa? Sumpah ya gue tadi kaget banget pas lo gak bangun - bangun. Gue kira lo... " ucapan Mila tidak ia lanjutkan.

"Apa? Takut aku mati? Uwuwuu Mila sayang. Aku gabakal mati sebelum olimpiade, percaya deh," Dinda menggandeng tangan Mila yang justru membuat Mila jijik dan melepasnya dengan lumayan kasar, lagi, Dinda tertawa renyah.

"Oke jadi hari ini materinya Basket ya, sekarang kita latihan teknik dasarnya aja minggu depan pre-test dan minggu depannya lagi test." Pak puja guru olahraga yang masih sangat muda mulai memberi tahu. Semua murid mengangguk semangat dan mulai mengambil posisi masing - masing.

Dinda berdiri di depan ring basket mencoba fokus untuk menshooting bola.

"Harus fokus satu titik, hanya itu, titik itu.." Tiba - tiba saja Andre si pengacau bernyanyi dengan nada yang tidak jelas membuat konsentrasi Dinda buyar dan hasilnya bola yang ia lempar meleset tanpa sedikitpun mengenai ring.

"Ish. Andre sih! Udah fokus - fokus akutuh!"

Sementara Dinda mencebik kesal Andre masih terus bernyanyi tanpa rasa bersalah. Dinda memilih menepi mengambil botol minumnya di pinggir lapangan.

Belum ada selangkah tiba - tiba ada yang meneriaki namanya dan sesuatu menghantam kepalanya cukup keras membuat Dinda terjatuh. Parahnya, kepalanya terasa sangat berat sekarang.

"Aduh, kepala barbie!" rintihnya, bahkan disaat seperti ini dia masih bisa bercanda.

Semua orang langsung berkerumun mengelilinginya. Bertanya keadaannya.

"Dinda lo gapapa?"

"Dinda lo baik - baik aja?"

Dan banyak pertanyaan yang intinya sama saja. Banyak suara membuat kepala Dinda semakin pusing, sebisa mungkin ia menahan dan mulai berdiri.

"Yaampun, Maaf banget. Gue gak sengaja lempar bolanya. Sumpah gue ga sengaja, lo gapapa kan? Mana yang sakit? Ayo ke uks,"

Suasana yang tadinya ramai mendadak hening. Orang yang baru saja masuk ke dalam kerumunan adalah orang yang melempar bola hingga mengenai kepala Dinda dan orang itu adalah Lintang, cowok multitalent idaman semua insan di SMA 7.

Dinda menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan pusing dan menatap Lintang. Ia tahu Lintang, tapi ia tidak terlalu tertarik padanya seperti siswi lain di sekolahnya.

Wajahnya sudah sangat pucat. Tapi ia malah tersenyum. Lagi dan selalu saja begitu membuat Mila yang berada di sebelahnya sebal karena sahabatnya selalu tersenyum bahkan dikeadaan sakit sekalipun. Kadang Mila berpikir, bisakah Dinda senyum kalau sedang sekarat?

"Eh iya aku ngga apa - apa, lain kali kalo lempar bola ke ring jangan ke kepala orang, sakit loh lumayan untung aku kuat udah makan bayam kaya popeye,"

Lintang melongo mendengar jawaban Dinda. Sungguh, cewek ini unik. Baru saja Lintang mau memastikan keadaan Dinda, Darah segar mengalir dari hidungnya membuat semua terkejut, tapi tidak dengan Dinda yang masih terlihat santai.

"Itu.. " Katanya sambil menunjuk hidung Dinda.

Sementara itu Dinda malah celingukan hingga akhirnya ia sadar dan menyentuh hidungnya yang mengeluarkan darah.

"Oh darah," Santainya, ia mengelap darah yang ada dengan kaos olahraganya dan menundukan kepalanya agar darah tidak terus mengalir.

"Ngga apa - apa ini cuma darah," setelah mengeluarkan kata - kata itu tubuh Dinda ambruk ke tanah. Utungnya, Lintang dengan sigap menahan sehingga Dinda ada di pangkuannya.

Lagi Dinda dibawa ke uks hari ini. Teman - temannya tak habis pikir. Kenapa Dinda tak bisa sehari saja tak membuat panik dan cemas.

SavorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang