• Tiga

11 5 0
                                    


Author POV

"Langsung pulang Din?"

"Nggak Mila, aku ada jam tambahan buat persiapan olimpiade,"

"Oh yaudah, gue duluan ya? Semangat olimpiadenya!"

Dinda tersenyum tulus menanggapi sahabatnya. Entah kenapa hanya dengan seorang sahabat seperti Mila saja ia rasa sudah cukup. Mila selalu baik padanya, mendukung Dinda dan selalu ada saat ia butuh. Mila melambaikan tangannya dan Dinda membalasnya.

Dinda masuk ke ruang kelas sebelas ips empat. Disana sudah ada beberapa murid yang juga akan mengikuti olimpiade sains akan tetapi kebanyakan dari mereka memilih biologi, kimianya hanya Dinda saja dan Fisika ada satu orang murid yang sangat jenius di fisika.

Satu persatu tutor masuk dan menghampiri anak didiknya. Tutor - tutor itu adalah guru SMA Tujuh yang memang sengaja dipilih untuk membantu murid - muridnya.

Bu Teti, guru Kimia yang sangat tegas menghampirinya. Bohong kalau Dinda tidak gugup, jangankan Dinda guru lain saja segan pada Bu Teti.

"Kamu sudah belajar sampai mana?" Tanyanya to the point.

"Saya sudah pelajari hampir semuanya, ibu silahkan beri saya soal pemantapan,"

Bu Teti mengangguk lalu mulai membuka buku yang ia bawa. Menyodorkan ada Dinda untuk mengisi soal yang sudah ia tandai. Tanpa banyak waktu, Dinda sudah bisa mengisi dan memberikan jawabannya kepada Bu Teti untuk diperiksa.

Bu Teti tersenyum puas dengan jawaban Dinda dan memberi beberapa pujian atas kemampuannya di bidang Kimia. Saat waktu menunjukan pukul setengah lima, barulah para murid dipersilahkan pulang.

Dinda pulang melewati lapangan basket, disana ada Lintang yang sedang menshoot bola kedalam ring. Sedangkan tiga temannya yang lain hanya menonton di pinggir lapangan. baju Lintang sudah banjir akan keringat, tapi itu yang membuatnya terlihat kece.

Angga yang melihat Dinda langsung berdiri dan menghampiri.

"Hai Dinda," kata Angga sok kenal.

Lintang langsung mengalihkan perhatiannya ke Angga dan Dinda yang mengobrol di pinggir lapangan.

"Hai?" jujur, Dinda tidak tahu siapa yang ada di depannya ini. Ia hanya tahu dia salah satu teman Lintang, tapi tidak tahu namanya.

"Gue Angga, anak kelas sebelas ips empat,"

"Oh, hai Angga. Kamu ngapain belum pulang? Ekskul ya?" tanya Dinda basa basi

"Engga, lagi pengen main aja,"

"Oh gitu, yaudah deh aku duluan ya," kata Dinda lalu tersenyum.

"Aduh manis banget, meleleh Angga liat senyumnya. Eh btw mau gue anter gak?"

Dinda terlihat berpikir, ia pikir tidak ada salahnya kan Angga mengantarnya pulang? Hemat ongkos, lagipula Angga niatnya baik.

Dinda tersenyum lagi dan mengangguk.

"Iya boleh,"

"Aduh jangan senyum terus dong, nanti gue bisa serangan jantung, bentar ya aku ambil tas dulu,"

"Nggak, Dinda pulang sama gue," Itu Lintang. Tiba - tiba ia sudah ada diantara mereka.

"Eh?" Dinda bingung, situasi macam apa ini?

"Kok gitu sih tang? Gue yang duluan ajak Dinda balik, " protes Angga.

"Cewek lo udah nelponin tiga belas kali,"

Angga langsung berbalik dan berlari kecil meninggalkan Lintang dan Dinda.

"Maaf ya Dinda, Lain kali gue anter lo pulang,  hari ini Lo sama Lintang aja,"

"Iya Angga, gapapa," kata Dinda tulus.

"Ayo pulang, " kata Lintang.

Dinda awalnya bingung tapi kemudian ia mengikuti Lintang hingga ke parkiran. Kemudian Lintang memberi isyarat agar Dinda masuk kedalam mobilnya.

"Lintang, kamu cuma mau nganter aku pulang kan? Ngga macem - macem?" Dinda curiga.

"Hm, anggap aja ini permintaan maaf gue udah bikin kepala lo kena bola,"

Dinda mengangguk paham.

"Rumah lo Dimana?"

"Ngapain nanyain rumah aku? Rumah aku ya ditinggal lah,"

"Maksud gue alamat rumah"

"Oh, ngomong dong. Di Goldy Apartemen A"

Sepanjang perjalanan hanya sunyi yang ada. Dinda tidak biasa dengan suasana seperti ini. Sungguh, sudah gatal mulutnya ingin berbicara tapi ia tahan karena takut dengan wajah Lintang yang serius.

"Lo mau ngomong apa?" Dinda terkejut. Ia menatap Lintang penuh selidik, mungkinkah Lintang itu sebenarnya mindreader?

"Ngga jadi ah, kamu nyeremin,"

Lintang langsung menoleh dan menatap Dinda. Beruntung sedang macet sekarang jadi tidak terlalu masalah kalau Lintang fokus ke Dinda.

"Nyeremin?" tanyanya.

Dinda mengangguk kikuk. Jujur ia takut kalau sudah begini, ini pertama kalinya ia berinteraksi dengan lawan jenis seperti ini. Ia mungkin saja sudah digendong oleh Rizal bahkan Lintang. Tapi saat itu ia tidak sadar sehingga tidak merasa.

"Wajahnya, coba senyum kaya gini..  Kan ganteng, gak nyeremin lagi, " kata Dinda sambil menarik pipi Lintang membuat cowok itu tersenyum paksa.

Tatapan matanya berubah melihat senyuman Dinda. Seketika hatinya kembali berdesir. Desiran yang belum pernah ia rasakan.

Lamunannya buyar saat terdengat klakson mobil dari mobil belakang yang meminta Lintang untuk berjalan karena sudah lancar.  Tidak sampai tiga puluh menit, mereka sudah berada di pelataran gedung apartemen Dinda.

"Makasih ya Lintang, jangan lupa senyum biar ganteng dan gak nyeremin," ucap Dinda tulus lalu tersenyum manis membuat jantung Lintang tidak karuan. Dinda masuk ke dalam apartemen, hingga punggungnya tak lagi nampak, Lintang baru menginjak pedalnya.

SavorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang