Author POVDinda memasukan sejumlah angka password apartemennya hingga terdengar bunyi klik dan pintu terbuka. Ya, Dinda tinggal di apartemen, sendiri. Ibunya meninggal ketika ia kelas satu SMP. ayahnya? Ia bahkan tidak pernah tahu siapa ayahnya.
Saat ini, Dinda hanya memiliki seorang tante yang setiap bulan mengiriminya uang untuk keperluan hidup. Tentu saja itu menjadi beban karena Dinda merasa tidak enak pada tantenya, meski adik kandung dari ibunya, tetap saja Dinda merasa hanya bisa menyusahkan tantenya.
Setelah meletakan sepatu, ia menuju ke kamarnya untuk beristirahat. Ia juga harus belajar sungguh - sungguh. Beruntung, karena ia sekolah di sekolah negri jadi uang spp bulanan tidak terlalu tinggi. Apartemen nya pun sudah lunas.
Dinda selalu menjadi juara pertama dikelasnya sehingga ia mendapat reward gratis spp dua bulan setiap mendapat peringkat dan itu sangat membantu. Selama ini, Dinda selalu mencari peluang seperti lomba atau olimpiade, bukan hanya mengejar prestasinya, ia juga bertekad mengejar hadiahnya, paling tidak dengan hadiahnya, ia bisa membagi sedikit kepada tantenya.
Selain mencari peluang di olimpiade, Dinda juga seorang penulis novel yang sudah beberapa bukunya diterbitkan meski sebagian hanya cerita fiksi pendek untuk majalah, ia mendapat uang royalti yang memuaskan dan itu cukup untuk kebutuhan hidupnya. Itulah ia, sosok yang pandai menyembunyikan pilu kisah hidupnya dibalik senyum manis dan sikap lugunya.
Membuka laptopnya, Dinda langsung mengecek email yang masuk ke akun miliknya. Ia langsung tersenyum, banyak yang memuji karya tulisnya. Dan satu lagi pesan yang baru masuk.
@LilianaSalim Dinda cerpen kamu udah posting di majalah anak - anak, coba kamu buat puisi atau cerpen atau karya tulis lain ya? Rencananya kalau bagus akan kami posting juga. Semangat terus!
@KarinAdinda Oke kak, akan aku , paling telat minggu ini aku kirim :)
Setelah mengetik balasan, Dinda langsung mematikan kembali laptopnya dan berjalan menuju dapur mencari sesuatu untuk dimakan. Tidak banyak, ia hanya mengambil susu kotak yang ia stok dalam kulkasnya dan buah pisang.
Selesai dengan makan singkatnya, ia kembali ke kamar dan mulai membuka buku Kimianya untuk persiapan olimpiade. Meski besok ada kelas tambahan untuk olimpiadenya, tetap saja ia rasa itu kurang.
~♥~
Lintang menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu. Kedua orang tuanya pasti belum pulang. Ia memijat pelan pelipisnya. Hari ini sangat melelahkan baginya.
Baru saja pulang sekolah, ia sudah dijemput dan diantarkan ke tempat les, tak sampai itu saja, setelah itu ia diminta ke kantor ayahnya untuk diajari bisnis oleh orang suruhan ayahnya.
Lintang muak, sangat muak. Ia sama sekali tidak suka dengan bisnis, tapi sayangnya hanya dia harapan penerus bisnis orangtuanya. Ia punya seorang adik perempuan, umurnya masih tujuh tahun, terpaut sepuluh taun dengannya.
"Kak Lintang,"
Lintang menoleh dan mendapati Keisha menghampirinya dengan membawa buku gambar.
"Hai key," Lintang tersenyum manis lalu memeluk adiknya. Meski terlihat dingin, Lintang selalu bersikap hangat pada adik satu satunya
"Kak Lintang bantuin Keisha buat gambar dong, ada tugas dari bu guru. Key disuruh gambar buah sama keranjangnya, susah banget, key udah coba tapi jelek," Keisha mengerucutkan bibirnya sambil menunjukan gambar hasilnya.
Lintang terkekeh lalu mengacak rambut Keisha gemas. Ia lalu mengambil buku yang ada di tangan adiknya dan mulai memperbaiki sedikit gambar adiknya. Karena kalau ia menggambar semuanya sendiri maka nanti guru Keisha tidak percaya kalau ini gambaran Keisha.
"Wah makasih kak! Gambarnya jadi bagus," kata Keisha senang.
Lintang tersenyum tulus menatap adiknya, paling tidak ada yang bisa membuatnya tersenyum di rumah ini. Setelah Keisha kembali ke kamarnya, Lintang kembali memasang wajah lelahnya dan berjalan ke kamarnya.
Membaringkan diri di atas ranjang kingsize, Lintang menatap kosong langit - langit kamarnya. Hal yang dibicarakan olehnya dan kedua orangtuanya beberapa hari yang lalu mengusik pikirannya.
Lintang turun ke lantai satu untuk makan malam bersama. Linda, ibunya bilang mereka harus makan malam bersama karena ada tamu yang akan datang.
Di meja makan sudah terdapat kedua orang tuanya, Keisha dan seorang laki - laki paruh baya yang ia yakini adalah rekan bisnis orang tuanya.
"Lintang ayo sini, ada yang ingin kami bicarakan sama kamu," ajak Linda
Lintang hanya duduk tanpa bersuara, ia makan dengan tenang dan menunggu apa yang akan dibicarakan kedua orang tuanya.
"Jadi gini Lintang, papa udah punya rencana untuk kamu. Karena kamu akan jadi penerus perusahaan, akan lebih baik lagi kalo kamu nantinya juga menikah dengan anak dari om Andrew jadi dua perusahaan besar ini bisa bergabung, gimana kmu setuju kan?" Rendra, ayah Lintang langsung menjelaskan.
Lintang tidak terkejut, ia tahu ini asti terjadi. Om Andrew adalah sahabat dari kedua orang tuanya. Ia diam tidak merespon. Lalu kemudian ia bangkit tanpa meninggalkan sepatah kata pun.
"Diamnya kamu papa anggap setuju,"
Tetap, Lintang tidak bersuara. Ia terlalu lelah, selama ini Lintang selalu mengikuti apa kata ayahnya, les, belajar bisnis dan semuanya, itu kemauan ayahnya, bukan dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Savor
Teen FictionKamu datang dan lengkapi cerita penuh senyuman. Tapi apa, nyatanya kamu tega hancurin hati yang rapuh. -Karin Adinda. Maaf, dari awal bukan seperti itu maksudku. Tunggu sebentar, sampai aku bisa perbaiki keadaanya.