• Sembilanbelas

8 5 0
                                    


Hari ini seperti biasanya, Lintang menjemput Dinda ke apartemennya untuk berangkat sekolah. Mendengar ketukan pintu, Dinda langsung bersemangat berlari dan membuatnya hampir terpeleset.

"Hai," sapanya saat melihat Lintang di depan pintu.

"Udah siap?" Tanya Lintang sambil tersenyum manis.

Dinda mengangguk. Kemudian setelah menutup pintu apartemennya, Lintang menggandeng tangan Dinda. Tentu saja cewek itu tersipu dan sekarang ia menundukan wajahnya untuk menyembunyikan wajah merah padamnya.

Lintang tak melepaskan gandengannya sepanjang jalan, begitu mereka sampai basement rupanya Lintang membawa mobil hari ini. Ia membukakan pintu untuk Dinda terlebih dahulu.

"Makasih,"

"Apapun buat lo," balas Lintang masih dengan senyum manisnya.

Lintang masuk ke mobilnya dan mulai mengemudi. Awalnya mereka berdua masih canggung dan tidak ada pembicaraan dalam mobil, Lintang terlihat fokus menyetir sehingga Dinda enggan membuat konsetrasinya buyar.

"Kenapa diem aja?" Tanya Lintang

"Hah? Enggak kok, aku cuma lagi liatin jalan,"

Lintang mengangguk, ia lalu kembali fokus ke jalan, sesekali melihat ke arah Dinda dan tersenyum kepadanya.

"Kamu kenapa, kok senyum - senyum terus daritadi?" tanya Dinda.

"Hm, Gue seneng aja akhirnya bisa berangkat bareng lo yang sekarang udah jadi pacar gue,"

Dinda dapat merasakan panas menjalar ke pipinya. Baru juga pagi hari, sudah dibuat blushing saja. Ia lalu mengalihkan pandangannya ke jendela untuk menyembunyikan senyumnya. Lintang tahu dan ia terkekeh kecil melihat tingkah Dinda yang menggemaskan menurutnya.

"Oh iya, kamu belum sarapan kan?" tanya Dinda.

Lintang tak menjawab, benar dia tak sarapan terlebih dulu tadi. Ia tak punya selera makan bersama orang tuanya di rumah, jadi ia bergegas pergi menjemput Dinda.

"Belum kan? Udah aku bilang sarapan itu penting sayang, kalo gak sarapan nanti sakit," lalu setelah itu baik Dinda maupun Lintang diam.

Dinda menyadari apa yang dia ucapkan barusan. 'Sayang' termasuk kategori kata alay yang hanya ia tulis di karyanya. Kenapa ia bisa keceplosan di sini?

"Lo bilang apa tadi?" goda Lintang

"Bilang apa?" balas Dinda pura - pura tak tahu.

"Yang tadi itu,"

"Aku cuma bilang kalo nggak sarapan nanti sakit, itu aja kok. Oh iya nih, kebetulan aku bikin sandwich buat kamu makan ya nanti." Katanya kikuk lalu cepat - cepat memberikan kotak makannya kepada Lintang. Lintang menerima kotak tersebut dengan senang hati. Menurutnya Dinda tak pernah berhenti bertingkah lucu seperti sekarang contohnya.

"Makasih, sayang."

Lagi, Pipi Dinda memanas. Kali ini Cewek itu mendorong pelan bahu Lintang dengan malu - malu.

Suasana sekolah saat mereka sampai bisa dibilang cukup ramai. Bela yang kebetulan datang saat itu melihat Lintang dan Dinda keluar dari mobil dan berjalan bersama menuju koridor, tentu saja rasa kesal langsung menyelimutinya.

"Gapapa Bel, kurang dari seminggu lo dan Lintang akan resmi tunangan," ucapnya pada dirinya sendiri.

Rangga baru sampai di pelataran sekolah, ia langsung berlari menuju kelas karena belum mengerjakan tugas dan berniat menyalin pekerjaan siapapun yang sudah selesai di kelas lalu tak sengaja menabrak Bela. Bela yang suasana hatinya sedang buruk langsung menatap Rangga tajam.

"Kalo jalan yang bener dong!" marah Bela.

"Sorry, tapi gue lari bukan jalan," kata Rangga tanpa dosa lalu melanjutkan larinya.

"Ish Sialan! Pagi - pagi udah ngeselin aja semuanya!" cacinya.

Begitu sampai dikelas, Rangga langsung menaruh tasnya. Di kelas, sudah ada Dinda dan yang lainnya. Dengan terengah - engah Rangga duduk di bangkunya di belakang Dinda, ia mencolek bahu Dinda.

"Apa?" kata Dinda.

"Gue lihat pr lo dong, gue belum kerjain sama sekali," Pinta Rangga dengan wajah memelas.

"Nih boleh," Dinda memberikan bukunya pada Rangga sambil tersenyum manis. "Kamu ngapain sih, pagi - pagi udah lari - lari sampe kaya gitu?"

"Ya karena pr ini, gue kan murid pertupel masa iya baru masuk udah ngga ngerjain pr, gengsi kali," jawab Rangga.

"Haha, bisa malu juga kamu ya. Tapikan kamu sama aja nyontek ke aku,"

"Ya, kan yang penting ngerjain. Itung - itung bantu temen lah," Ada saja alasannya. Dinda hanya mengangguk mengiyakan. Rangga lalu fokus menyalin pr-nya.

Mila baru datang ke kelas dan melihat pemandangan aneh. Rangga menyalin pr. Dengan buku di tangannya, ia memukul pelan kepala Rangga  membuat Rangga meringis. Melihat siapa yang baru saja memukulnya, Rangga langsung memberikan tatapan tajamnya.

"Apaansih lo!" Protesnya.

"Kerjain pr tuh di rumah," kata Mila

"Gue baru tau ada pr,"

"Alah, kan udah gue kasih tau semalem,"

"Gue ga ngerti materinya," alasan lagi. Dinda mulai tertarik dengan pertengkaran dua bersaudara itu. Ia menganggap kadang pertengkaran seperti ini antara dua saudara itu lucu, sayang ia tak punya saudara.

"Kenapa kamu ngga tanya sama Mila aja?" Tanya Dinda.

"Hm, gimana ya. Kalo gue nanya Mila gue gak yakin, secara kan dia bego, nggak pinter kaya lo," jawab Rangga.

Lagi, Mila memukul kepala Rangga. Kali ini cukup keras. Mila tak terima dibilang bodoh walau oleh saudaranya sendiri.

"Sialan lo ya!"

Mendengar itu, Rangga malah tertawa. Begitu pun Dinda yang ikut tersenyum heli melihat kelakuan mereka.





SavorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang