Dinda dapat merasakan tangannya digenggam oleh seseorang. Ia sudah sadar, tapi belum membuka matanya. Perlahan ia membuka matanya dan menyesuaikan pencahayaan yang ada. Hal pertama ia lihat adalah wajah Lintang, lalu pandangannya mengarah pada tangannya yang sedang di genggam cowok itu."Udah siuman?" Tanya Lintang lembut.
Dinda mengangguk lemah lalu berusaha untuk duduk. Lintang membantu Dinda duduk dan memberikan teh hangat di nakas padanya. Dinda menerimanya dan meminumnya perlahan.
"Kamu sakit apa?"
Dinda diam, ia tak mau memberitahu Lintang tentang penyakitnya. Ia tak mau kalau nanti Lintang tahu, ia akan meninggalkannya.
"Kalau belum mau kasih tau aku gak apa - apa, tapi tolong kalau ada apa - apa langsung hubungin aku, jangan tiba - tiba pingsan gini bikin aku khawatir," Jelas Lintang.
Gaya bicaranya berubah, awalnya Lintang masih menggunakan lo-gue tapi sekarang ia menggunakan aku-kamu pada Dinda. Cewek itu tersenyum sendu pada Lintang. Ia bersyukur pada Tuhan karena telah mengirimkan salah satu makhluk terbaiknya untuknya.
"Makasih, kamu pengertian banget. Maaf udah bikin kamu khawatir," kata Dinda.
Lintang cuma mengangguk lalu mengambil mangkuk bubur di atas nakas,
Seolah paham dengan maksud Lintang. Dinda menggeleng kecil, ia tak mau makan dulu, perutnya masih sedikit sakit. Takutnya kalau makan sekarang, malah jadi muntah nantinya."Lintang," panggil Dinda.
Dinda memanggil Lintang cukup keras, padahal jelas Lintang sedang duduk di hadapannya dan menatap wajahnya.
"Hm?"
"Wajah kamu kalau lagi serius itu ganteng, tapi menurut aku lebih lucu," katanya lalu terkikik sendiri.
Lintang mencubit hidung pipi Dinda gemas. Disaat seperti ini, masih saja sempat membuat lelucon dan tertawa. Tapi tak apa, artinya cewek itu cepat pulih, sadar akan itu Lintang juga ikut tersenyum.
Tak lama, Dinda sudah merasa sedikit baikan dan memakan buburnya lalu meminum obatnya. Meski Lintang sudah menyuruhnya untuk istirahat di uks saja, tapi cewek itu bersikeras ingin kembali ke kelas, pasalnya di jam pelajaran ini ia ada ulangan harian dan parahnya tidak ada susulan. Jadi mau tidak mau ia harus ikut. Jadi Lintang mengiyakan saja, dengan syarat Dinda tak boleh pulang sendiri, mulai sekarang dan kedepannya Dinda akn berangkat dan pulang diantar oleh Lintang dan jika ada keperluan diluar sekolah, Lintang akan berusaha sebisa mungkin mengantar Dinda.
Saat kembali ke kelas, rupanya guru mata pelajaran sudah ada di kelas. Untungnya, ulangan harian belum di mulai.
"Kamu udah baikan?" Tanya guru tersebut.
"Udah bu, saya mau ikut ulangan kan soalnya," jawab Dinda semangat.
Walau wajahnya masih pucat. Tapi dengan senyum dan semangatnya, membuat guru yang tadinya ragu jadi memperbolehkan Dinda ikut ulangan. Dinda berjalan menuju bangkunya di sebelah Mila. Tentu saja, Mila sudah memelototinya dari semenjak ia masuk ke kelas.
"Emang lo udah sehat?"
"Udah dong," jawab Dinda mantap.
"Ck, terserah deh. Lo tuh terobsesi banget sama belajar, orang mah ya pada suka di uks, ngga ikut belajar. Ini lagi sakit, malah bela - belain ke kelas ikut ulangan. Heran gue," kata Mila.
Dinda hanya cengengesan menanggapu Mila. Sedangkan Rangga hanya mengamati dalam diam. Cowok itu sudah mencari di browser tentang penyakit yang tiba - tiba mimisan dan pingsan. Ia memperhatikan Dinda dengan seksama dan semakin ia fikir, ia semakin ingin melindungi cewek itu tak peduli sekalipun Dinda punya pacar.
Selesai ulangan harian. Masih ada waktu sekitar setengah jam untuk bel pulang berbunyi, semua siswa sudah bersiap dengan tas di pundaknya. Guru mata pelajaran sudah keluar lima menit yang lalu.
"Rangga, makasih ya udah bawa aku ke uks tadi," ucapnya tulus.
"Iya, lain kali kalo lo lagi merasa nggak sehat mending gausah ikut olahraga," balas Rangga.
Dinda mengangguk patuh. Ini bukan kali pertama ia mendengar orang mengtakan hal itu kepadanya, sudah sangat sering. Tapi apa, Dinda cukup keras kepala untuk tetap ikut olahraga dan berakhir di uks.
"Lo balik sama siapa?" Tanya Rangga.
"Aku pulang sama Lintang, kenapa Ga?"
"Oh, bagus deh lo nggak pulang sendiri," Rangga telah memutuskan untuk menjaga dan melindungi Dinda dari jauh. Untuk sekarang ia hany akan mengawasi sampai ada celah baginya untuk bertidak.
Tak lama Lintang sudah ada di depan pintu kelas. Dinda yang menyadarinya langsung menghampiri cowok itu dan pulang bersamanya. Setelah mereka berdua pergi, Bela menghampiri Rangga.
"Heh cowok rese,"
"Apa cewek emosian?" jawab Rangga.
"Ish, kenapa sih lo rese banget,"
"Kenapa sih lo emosian banget," balas Rangga.
Bela jadi merasa geram sendiri. Hampir saja ia lupa maksudnya menghampiri cowok yng sebenarnya tak pernah ingin ia temui karena sangat menyebalkan menurutnya.
"Bodo ah, gue langsung aja ke intinya. Lo suka kan sama Dinda?" tanyanya.
"Apa urusan lo?" Tanya Rangga balik.
"Jelas urusan gue lah, gue tau dari sikap lo, lo emang suka sama dia, dan saran gue lo cepet - cepet rebut dia dari Lintang,"
"Kok lo gitu sih? Oh gue paham, jadi lo termasuk salah satu cewek penggila si Lintang kan?"
"Bukan. Asal lo tahu aja, gue calon tunangan Lintang. Jadi jauh lebih baik kalo lo bisa dapetin Dinda dan hubungan gue akan berjalan lancar sama Lintang,"
Rangga memasang wajah meragukan. Ia tak percaya dengan apa yang diucapkan cewek didepannya ini. Baginya, itu cuma kehaluan cewek itu saja.
"Kalo nggak percaya, besok gue akan umumin dan kasih lo dan temen sekelas undangan untuk datang ke pesta tungangan kami malam minggu nanti, jadi lebih baik lo siapin skenario untuk jadi pahlawan buat Dinda dari sekarang."
Rangga masih diam tak menanggapi.
"Asal lo tahu, gue masih termasuk dalam cewek baik. Coba lo fikir cewek mana yang masih diem aja saat calon tunangannya jadian sama cewek lain? Kalo gue jahat mungkin gue udah bully atau celakain Dinda dari kemarin. But see, gue nggak melakukan apapun. Itu aja sih, saran gue, bye. Tunggu besok buat undangannya okay?" kata Bela lalu berjalan pergi meninggalkan Rangga dengan segala pikiran janggalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Savor
أدب المراهقينKamu datang dan lengkapi cerita penuh senyuman. Tapi apa, nyatanya kamu tega hancurin hati yang rapuh. -Karin Adinda. Maaf, dari awal bukan seperti itu maksudku. Tunggu sebentar, sampai aku bisa perbaiki keadaanya.