• Sembilan

7 6 0
                                    

Author POV

Walau masih terpejam, ia bisa menebak kalau dirinya sedang berada di ruang uks. Ia bisa mencium aroma khas teh hangat uks yang hampir setiap minggu ia hirup. Seketika ingatannya kembali ke saat sebelum ia pingsan.

Dinda membuka matanya dan mendapati Mila disana. Ia melihat sekeliling dan tidak mendapati siapapun lagi.

"Udah bangun? Nih minum dulu," Dinda mengernyit, tumben sekali Mila tidak mengomel. Ia mengambil gelas tersebut dan menghisapnnya sedikit.

"Kan udah gue bilang! Kalo cape istirahat, kalo pusing cari gue, minum obatnya!  Kenapa susah banget sih? Kalo udah gini siapa juga yang sakit?"

Tuhkan, tapi tidak apa. Dinda senang Mila mengomel seperti ini, artinya Mila khawatir dan cemas padanya. Ya memeng karena kadang keadaannya mengkhawatirkan.

"Iya maaf,"

"Ngga usah minta maaf ke gue,"

"Tapi Mila, siapa yang bawa aku kesini?"

"Gue," bukan Mila, itu Lintang yang baru saja masuk membawa sterofoam berisi bubur di tangannya.

Dinda terkejut, tapi tidak dengan Mila. Ia tahu bahwa Lintang yang membawa sahabatnya. Dinda bisa melihat bekas darah di seragam Lintang. Itu pasti darahnya tadi. Ia meringis, pasti sangat menjijikan.

"Eh, hai Lintang? Makasih udah nolongin aku"

Lintang memberi isyarat pada Mila untuk keluar meninggalkan mereka berdua. Mila berbicara tanpa suara di belakang Lintang dan mengatakan pada Dinda 'Lo hutang cerita sama gue'

"Lo sakit apa?"

"cuma kecapean aja," alibinya.

"kok sering banget?"

Dinda gelagapan, tak tahu harus jawab apa. 

"nggak usah dijawab, nih bubur. Makan,"

"wah, makasih loh, tau aja aku mau makan bubur," Dinda langsung sumringah. Lintang terkekeh geli dan mengusap kepala Dinda.

Entah, kalau dengan Dinda, Lintang rasanya lupa dengan semua masalah. Angga dan Ali yang sedari tadi mengikuti Lintang tersenyum penuh arti saat melihat sahabatnya mulai bersikap selayaknya manusia.

Dinda makan dengan lahap tanpa jaim sedikitpun. Ia memang berencana makan bubur dari pagi, tapi belum sempat karena tadi di makeover oleh Mila. Lagi, Lintang tersenyum menatap Dinda.

"Kamu jadi sering senyum ya?" tanyanya.

"Iya, karena lo," blush. Ia bisa merasakan pipinya memanas.

"Hari ini lo pulang sama gue,"

"eh? Ngga usah, aku pulang sendiri aja"

"nggak apa, biar gue bisa mastiin lo selamat sampe rumah,"

"Yaudah iya,"

"Nanti gue jemput ke kelas lagi,"

Lintang meninggalkan uks dan Dinda yang memilih tidur setelah makan bubur tadi.  Lintang kembali ke rooftop bertemu dengan Angga, Ali dan Bayu. Begitu sampai, ia langsung membuka laptopnya dan mengecek e-mail yang masuk. Kebanyakan adalah dari perusahaan yang ia bantu kelola. Ya, seminggu lalu, ayahnya resmi memberi Lintang satu perusahaan anak cabangnya, ia bilang sebagai latihan untuk kedepannya agar Lintang mulai terbiasa.

Angga dan Ali mulai beraksi menggoda Lintang. Mereka mencolek bahu Lintang sambil tersenyum penuh arti.

"Aduh doi udah ada doi nih, pantes sering senyam - senyum macem orang gak waras," kata Angga

Lintang menatap Angga bingung. Ia tahu sahabatnya memang agak miring tapi yang kali ini sngat tidak jelas.

"Aduh Adinda, kalintang akan segera datang padamu"

Barulah Lintang mengerti arah pembicaraan dan godaan ngaco mereka.
Ia tersenyum kecil menanggapi mereka.

"Syukurlah, mata hati lo udah terbuka. Awalnya gue sempat ngira lo homo soalnya banyak cewe yang ngedeketin tapi gak lo respon sama sekali." kali ini Bayu.

Apa yang dikatakan Bayu memang benar. Karena Lintang termasuk cowok populer yang disukai banyak cewek tapi ia tidak pernah merespon walau hnya sekedar membalas senyum pada mereka. Apalagi Sherly yang terobsesi padanya, parahnya cewek itu tidak mengenal kata menyerah.

"Sialan lo semua,"

"Tapi seharusnya kita terimakasih sama Dinda karena udah bikin mahluk kini kaya manusia, bisa senyum, bisa ngotak dan melakukan hal manusiawi lainnya," celetuk Angga.

"Iya juga tuh, tapi kalau gue pikir - pikir.Lo Tang, pinter juga milih cewe kaya Dinda, maksud gue diakan polos gitu jadi kemungkinan kecil pernah di anu, gak kaya cewe - cewe yang ngejar lo,"

Bayu memukul kepala Ali cukup keras dengan botol minuman plastik di tangannya. "Otak lo ya!"

"Gue suka dia, sayang, tulus,  rasanya pengen jagain dia dan gue nyaman sama dia," ketiga orang itu dibuat diam dengan jawaban sahabatnya. Baru kali ini mereka mendengar ia berbicara seperti itu.

"Kalau gitu, kejar. Dapetin, jaga dan jangan sakitin dia," kata Bayu.

Kali ini Lintang yang diam. Ia yakin dalam hatinya dan ia berjanji bahwa tidak akan menyakiti Dinda. Semoga saja.

SavorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang