• Limabelas

7 6 0
                                    


"Iya Halo?" Dinda menjauhkan lagi ponsel dari telinganya. Bukan karena penelpon tidak merespon, kali ini ia memastikan bahwa ini benar telepon, bukan video call.

"Keluar, gue di depan pintu apartemen lo,"

Cewek itu langsung berlari kecil menuju pintu apartemennya. Masih dengan telepon di telinganya Dinda membuka pintu dan tampak lah Lintang tersenyum sambil mengangkat kantung keresek di tangan kanannya.

Dinda melebarkan pintunya mempersilahkan Lintang masuk. Sebenarnya cewek itu masih bingung, kenapa tiba - tiba Lintang kesini.

"Kalo di depan pintu kan tinggal pencet bel aja, atau ketuk pintu. Ngapain telpon, buang - buang pulsa aja," katanya.

"Belum makan kan?" bukannya menjawab Dinda, ia malah mengganti topik dn langsung sibuk membuka bungkus makanan yang ia bawa.

Dinda mengernyit aneh, tahu darimana Lintang kalau ia belum makan?

"Kenapa nggak makan di rumah aja?" tanya Dinda sambil memposisikan diri di depan Lintang.

"Males, gak ada nafsu kalo di rumah,"

Dinda hanya mengangguk dan mengambil sterofoam yang diberikan Lintang. Ia membukanya, matanya langsung bersinar ketika melihat apa yang ada di dalamnya.

"Yaampun, kok kamu tau sih aku lagi pengen kwetiaw yang di bawah?"

Lintang cuma mengendikan bahunya. Kebetulan saja ia membelikan itu, sama sekali ia tidak tahu kalau Dinda suka. Ia bahkan sempat khawatir kalau - kalau Dinda menolaknya. Dinda bisa langsung tahu kalau kwetiaw yang dibeli Lintang adalah dari pedagang kaki lima di dekat apartemennya karena ia sudah langganan dan sejak sore tadi ia memang berniat membeli tapi terlalu malas untuk turun ke bawah.

Melihat ekspresi senang Dinda membuat Lintang tersenyum di sela makannya. Wajah cewek itu persis seperti anak kecil yang kegirangan mendapat eskrim atau hadiah yang ia inginkan. Lintang jadi gemas sendiri.

Dinda membereskan bekas makanan mereka sedangkan Lintang sekarang menuju sofa dan menyalakan televisi. Serasa di rumah sendiri, padahal Lintang baru beberapa kali kesini. Selesai dengan urusannya, Dinda menyusul duduk di sebelah Lintang.

"Kamu kesini mau kasih aku makan doang?" Tanya Dinda.

"Hm, sekalian liat lo,"

"Ngapain? Gak ada kerjaan banget,"

"Kangen," Blush, Dinda bisa merasakan pipinya memanas. Ia langsung memalingkan wajahnya agar Lintang tidak melihat wajahnya yang memerah.

Lintang terkekeh membuat Dinda semakin salah tingkah. Cowok itu lalu menangkup pipi Dinda agar menatap ke arahnya. "Nggak usah disembunyiin, lo lucu kalo lagi blushing. Makin gemesin,"

"Ish," Dinda berusaha melepaskan tangan Lintang diwajahnya. Bisa bahaya kalau terus - terusan dikerdusin Lintang. Ia berdiri dan menatap Lintang serius.

"Udah malam, pulang sana,"

"Ngusir?"

"Iya!"

Lintang melirik arlojinya, baru jam delapan malam. Lalu ia menatap Dinda dengan senyum jahilnya. Tentu saja itu membuat Dinda bingung. Cewek itu mengangkat alisnya seolah bertanya 'apa?'
Bukannya menjawab, Lintang malah terkekeh.

"Oke, gue pulang,"

Dinda mengantar Lintang sampai depan pintu. Dengan sedikit rasa bersalah ia menatap Lintang yang kini juga sedang menatapnya.

"Makasih ya makanannya, maaf juga yaa bisa dibilang ngusir,"

Lintang tersenyum Tulus. Sepertinya cuma di depan Dinda ia bisa tersenyum seperti sekarang, dan kalau memang diperlukan di depan Maura. Ia mengangguk lalu mengusap kepala Dinda.

"Jangan kasih lihat wajah lo kalo lagi blushing atau lagi ngambek ke cowo lain ya?" Dinda mengernyit tak mengerti.

"Terlalu gemesin, gak boleh dibagi cowok lain, nanti kalau mereka suka, gue jadi repot, udah ya gue pulang," kata Lintang lalu melenggang pergi.

Dinda baru bisa mencerna perkataan Lintang saat menutup pintunya. Ia memekik tertahan. Berusaha sebisa mungkin untuk menahan rasa aneh yang tiba - tiba mencuat dalam tubuhnya.

Lintang tiba dirumahnya, moodnya yang baik saat bertemu Dinda sekarang memburuk melihat pemandangan di ruang tamu rumahnya. Bela sedang merajuk pada orangtuanya. Seolah tak ada apa - apa, ia melewati ruang tamu begitu saja.

"Tante, aku mau pertunangannya dipercepat," rengek Bela.

Perkataan Bela barusan membuat Lintang berhenti dan memberikan perhatian pada mereka.

"Boleh aja sayang, kita percepat minggu depan aja ya?" Tawar Linda.

Bela mengangguk semangat. "Makasih Tante, Om, Pa, Ma"

"Kamu nggak keberatan Kan Lintang?" kali ini Andrew yang berbicara. Lintang hanya diam tak menjawab.

"Nggak dong, keberatan apanya Drew, kita justru senang, makin cepat makin baik," Linda menjawab.

Tanpa sepatah katapun Lintang meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya. Ia tak peduli lagi dengan pertunngan bodoh itu, persetan. Ia bahkan masih SMA. Lintang menghembuskan nafas lelah lalu merebahkan tubuhnya di kasur. Memejamkan matanya mencoba menahan amarah yang memuncak di kepalanya.

SavorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang