"Papa ...."
Renggekan khas bocah laki-laki berusia lima tahu langsung memenuhi ruangan kamar Alex yang tidak terlalu besar. Begitu masuk Padel langsung menghampiri Alex yang masih setia dengan kasurnya.
"Papa! Ayo bangun ...." ulang Padel, tapi Alex tidak bergeming. Padel menghela napas panjang, otak kecilnya langsung berpikir cepat.
"Kalo Papa gak bangun-bangun, Padel bakal lakuin ...." Dengan cepat tangan mungil Padel mengusap-ngusap dahi Alex. Itu kelemahan Alex. Padel tahu jelas akan hal itu. Cara ini tidak pernah gagal, sekali pun.
Alex tersenyum samar, berusaha tetap berusaha mempertahankan sandiwaranya. Sebenarnya Alex sudah bangun sejak subuh tadi. Namun, terasa Alex selalu suka mendengar rengekan manja khas Padel, anaknya.
"Papa ... ayo bangun." Kali ini Padel benar-benar hendak menangis. Bocah kecil itu berpikir kalo cara termujarab yang dia miliki telah gagal untuk pertama kalinya.
"Papa...," tangan mungil Padel kini beralih ke matanya sendiri, mengusap-ngusap matanya yang mulai memerah.
"Padel gak adil, kok malah nangis sih?" protes Alex cepat. Spontan kedua mata cokelat Alex langsung terbuka lebar.
"Ye papa bangun ... " sorak Padel dengan mata berbinar, mengabaikan air mata yang baru menetes di pipinya dan juga protes Alex barusan.
"Sekarang Padel tahu kelemahan kedua, Papa. Papa gak bisa liat Padel Nangis ...." Kali ini Padel berseru lebih heboh.
Alex menggeleng keras. "Bukan kelemahan kedua, tapi kelemahan utama," koreksi Alex, kemudian meraih tubuh Padel yang asik lompat-lompat di kasur.
"Loh, bukannya kelemahan pertama Papa itu dahi yang diusap?" tanya Padel dengan pipi mengelembung yang seketika membuat Alex gemas ingin mencubitnya.
"Itu sebelum papa punya anak semanis dan sebaik Padel."
"No, Pa." Kali ini giliran Padel yang menggeleng keras. "Padel gak mau jadi kelemahan, Papa. Padel mau Papa kuat, meski gak sekuat hulk, tapi Papa akan selalu kuat di mata Padel."
Seulas senyum haru tidak bisa Alex pendam. Ia senang dan sedih secara bersamaan. Alex tidak bisa berkata-kata dan langsung memeluk malaikat kecilnya itu.
"Ihh, Papa bau ...." Tangan mungil Padel refleks mendorong pelan tubuh Alex agar menjauh. "Sekarang Papa harus mandi," titah Padel meniru suara berat kakeknya— Troy, tapi malah terdengar lucu di telinga Alex.
"Oh iya, Papa jangan lupa pake baju yabg sudah Padel siapin di lemari," tambah bocah berusia lima tahun itu seraya turun dari kasur Alex untuj memberikan ruang pada Alex meraih kursi rodanya yang berada di samping nakas.
Di dalam lemari terdapat baju kemeja berwarna putih dan celana dasar hitam. Alex tersenyum melihat semua itu. Baju dan celana sudah tegantung rapi. Tidak terasa air mata nyaris jatuh dari kelopak mata Alex.
"Papa matanya kenapa?" tanya Padel polos.
"Papa masih ngantuk ...." Alex berpura-pura mengucek matanya.
"Papa!" kesal Padel, "Papa sekarang harus bangun terus mandi. Sekarang udah jam 6 entar Padel bisa telat," seru Padel seraya mencoba kembali menggunakan suara berat dibuat-buat.
"Sebenarnya Padel itu anak atau seorang papa? Gimana kalo kita ganti posisi? " Alex memainkan alisnya naik-turun, menggoda anaknya itu.
"Untuk hari ini Padel yang jadi papanya, jadi Papa harus nurut sama Padel." Padel berkaca pinggang, persis seperti Troy yang akhir-akhir ini sering melakukan hal seperti itu saat melihat Padel dan Alex membuat kenakalan kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampul Lama
SpiritualSequel dari Tabir Di Balik Cadar *** Saat cinta tak butuh mata untuk memilih maka ia juga tak butuh telinga untuk mendengar alasan agar kembali. "Cinta nama lain dari harapan. Dan berharap pada manusia adalah sepahit pahitnya harapan". (Aisyah Sal...