Alex terkekeh. " Dialognya cukup bagus. Apa kamu selalu menghafal setiap dialog yang kamu baca?"
"Gak juga," sahut Ines pelan, "itu dialog dari hati."
"Dialog dari hati?" Alex berpikir sejenak, "itu novel yang pernah kamu bangga-banggakan karena berhasil mendapatkan tanda tangan penulisnya, kan?" tebak Alex yang langsung mendapat anggukan antusias dari Ines.
"Betul. Itu koleksi ke 90 buku yang berhasil di tanda tangani langsung oleh penulisnya. Tinggal sepuluh lagi tanda tangan, koleksiku akan lengkap 100 buku," sorak Ines girang. Jika saja mereka tidak berada di rumah sakit, Alex yakin Ines akan berteriak heboh sekarang.
Ines, dokter syaraf yang memang terbilang jenius, sering di juluki sebagai manusia terpintar karena diusia muda sudah berhasil menjadi dokter. Namun, hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa ia memiliki tingkah absolut di balik kejeniusannya itu, lebih absolut dari kebanyakan manusia yang di anggap 'normal'.
"Jadi, kapan akan berburu tanda tangan lagi?" tanya Alex sama antusiasnya seperti Ines
Mendengar pertanyaan itu, raut wajah Ines mendadak murung. Wajah mungilnya menekuk sedih. "Entahlah," jawabnya pelan.
"Sepertinya tidak akan bisa, akhir-akhir ini aku terlalu sibuk. Kayaknya mendapatkan 100 tanda tangan penulis bakal jadi angan-angan kosong." Gadis itu menghela nafas panjang.
"Jika ada doa dan usaha, insyallah semua bisa terwujud. Yang penting tetap terus ikhtiar." Alex tahu kalimat nasihat yang dia berikan terlalu jadul, tapi hanya itulah yang bisa Alex katakan. Alex bukan orang yang alih dalam memberi kalimat motivasi. Alex hanya berharap Ines kembali tersenyum. Senyum bahagia dua menit tadi.
Ines hanya tersenyum tipis sebagai respon. Setelahnya, Ines termenung memikirkan sesuatu. Alex berpikir kalo Ines berusaha berdamai dengan keadaannya atau mencerna kalimatnya barusan.
"Harus tetap ikhtiar? " gumam Ines pelan seraya menoleh pada Alex yang seketika mengangguk di kursinya.
*****
"Pliss, bantu aku. Aku mohon ... aku mohon.... Aku janji bakal jadi gadis yang baik setelah ini. Aku mohon."
Ines bertekuk lutut di depan kursi roda Alex. Gadis itu menangis bak anak kecil.Alex gelagapan, ia bingung harus apa. Aksi konyol Ines membuat mereka menjadi pusat perhatian di taman.
"Ines, udah dong jangan nangis lagi, malu di liat orang." Alex melirik sekitar. Tangis Ines membuat beberapa orang menghentikan langkahnya dan menatap tajam Alex.
Gadis itu sama sekali tidak menghiraukan perkataan Alex atau pun tatapan semua orang. Ia malah semakin memperkencang volume suaranya. Tatapan orang kita seperti tengah memvonis Alex.
"Dasar pria jahat!"
"Kenapa menyakiti hati gadis tidak berdosa!"
Berbagai tatapan itu sukses mengintimidasi Alex. Alex tidak punya pilihan selain menuruti keinginan Ines.
"Oke." gumam Alex pelan.
Mata Ines seketika berbinar terang, gadis itu langsung bangkit dan tangisnya seketika menghilang berganti senyum lebar penuh kemenangan.
"Makasih Alex," katanya sumringah.
Alex bisa sedikit bernapas lega setelah semua orang tidak menjadikan mereka pusat perhatian lagi."So, langkah apa yang akan kita lakukan agar menang?" tanya Ines.
Alex mengangkat bahunya, ia benar benar tidak tahu. Ide gila Ines mengenai lomba menulis rasanya sangat tidak masuk akal. Terlebih lagi lawan-lawan yang akan di hadapinnya bukanlah orang biasa, mereka penulis terkenal yang karyanya sudah banyak memenuhi toko buku dan perpustakaan. Bahkan salah satu penulis favorit Alex juga ikut dalam ajang bergengsi ini. Ini ajang besar dan bukan ajang biasa demi ambisi konyol Ines. Mendapatkan 100 tanda tangan penulis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampul Lama
SpiritualSequel dari Tabir Di Balik Cadar *** Saat cinta tak butuh mata untuk memilih maka ia juga tak butuh telinga untuk mendengar alasan agar kembali. "Cinta nama lain dari harapan. Dan berharap pada manusia adalah sepahit pahitnya harapan". (Aisyah Sal...