Jalan yang terpisah

1.7K 194 12
                                    

"Assalamualaiku," Troy mengetuk pelan pintu berukuran sedang.

Alex menghembus nafas berkali-kali, tangannya gemetar tanpa sebab. Pikirannya melayang entah kemana, hatinya gelisah.   Dengan segera Alex menyibuk diri dengan melafaskan tasbih.

"Waalaikumsalam."

Alex menatap gagang pintu yang kini berdecit pelan, menandakan dalam hitungan detik pintu berukuran sedang itu akan segera terbuka.

Terlihat seorang pria paru baya membuka pintu. Pria itu memakain sarung, kaos oblong putih dan  peci di kepalanya. Pria itu baru saja selesai melaksanakan sholat ashar.  Terlihat dari seri wajahnya yang masih basah, rambutnya yang hampir di dominasi warna putih pun terlihat basah.

" Ya Allah ... Troy. Sudah lama kita tidak berjumpa." Sesaat pria itu mematung di tempatnya. Sorot matanya bercampur aduk, kaget dan rindu menjadi satu.

"Assalamualaikum, Kak ...." Suara Troy memecah keheningan sesaat itu. Wajah kaget pria paru baya itu, perlahan didominasi rasa rindu yang terlihat jelas. Dengan tangan terbentak, pria itu menyambut Troy.

Troy menyambut pelukan hangat sahabatnya itu.

"Kemana saja kamu selama ini Troy?" tanya pria paru baya itu, haru.

"Maaf, Kak—" Suara Troy terhenti di tenggorokan. Ada banyak rasa rindu yang menyelimutinya membuat lidahnya keluh seketika.

"Ah, sekarang bukan waktunya untuk meminta maaf." Pria paru baya itu tersenyum hangat.

" Kapan pun kamu akan datang. Tidak masalah. Pintuku selalu terbuka lebar untuk sahabatku ini." Sembari menepuk pelan pundak Troy, pria itu lantas  membuka lebar  pintu rumahnya.  Sesaat saat hendak menyuruh Troy masuk, Pria itu baru menyadari keberadaan Alex yang sedikit tertutupi oleh Troy.

"Alex? " kagetnya. Namun, sorot matanya begitu hangat menatap Alex yang sedikit canggung. Alex mengangguk, membenarkan.

"Wah sudah besar sekali kamu, Nak. Dulu terakhir kali aku liat Alex, dia masih sangat kecil masih dalam gendongan Sinta pula," ujar pria paru baya itu sembari mengingat-ingat kenangan lama yang terasa manis, terpancar dari sorot matanya.

"Oh ya di mana istri mu, Troy? " Pria paru baya itu refleks melihat ke arah luar, berpikir kalo dia lagi-lagi kelewatan menyadari kehadiran orang lain di sana.

Troy tersenyum gentir. Matanya berbinar sedih, berusaha tetap tegar. "Sinta telah menjadi bidadari di surga, Kak."

Pria itu seketika menatap Troy. "Jadi itu alasan kamu begitu tak kuasa untuk berkunjung ke sini lagi? Terlalu banyak kenangan Sinta yang tersimpan di rumah ini."

Troy lagi-lagi menganggu gentir. Bibirnya berusaha tersenyum, tapi sorot matanya berkata lain.

"Inalilahi..." ujar pria paru baya itu lirih.

"Ada tamu rupanya?" Suara wanita berkerudung panjang dari balik gorden, muncul dari dalam, memecah hening sesaat di antara mereka.

"Assalamualaikum, Kak," sahut Troy.

"Walaikumsalam ... Troy, rupanya kamu," sambungnya setelah melihat Troy yang mengucapkan salam.
Wanita itu kini beralih menatap Alex.

"Dan ini anak kamu? Alex?"  Masyallah makin ganteng aja si asep ya, Ba ...."

Pria paru baya itu mengangguk,  menyetujui perkataan istrinya barusan. Ketampanan Alex memang tidak bisa dipungkiri. Wajah teduh dengan hidung mancung, garis rahang tegas dan sorot mata cokelat yang  lembut seolah menambah daya tarik seorang Alex terlepas dari bagaimana pun keadaan fisiknya sekarang.

***

Aisyah mengucek pelan matanya, gadis itu terbangun tepat saat jam menujukan pukul tiga dini hari. Segera ia bangkit dari tidurnya dan berlalu menuju kamar mandi untuk mengambil wuduh. Dinginnya air, membuat mata cokelatnya makin terbuka lebar.

Rangkaian aktivitas ibadah malam Aisyah dimulai dengan salat wuduh, salat tahajud, salat taubat dan diakhir salat witir tiga rakaat. Setelahnya, Aisyah melanjutkan bacaan Al-Qur'annya.

Selesai membaca Al-Qur'an, Aisyah beranjak mengambil tasbih.  Memutar tasbihnya seraya melantukan salawat dan istighfar. Selang berapa menit berikutnya, azan subuh berkumandang, gadis itu segera beranjak dari tempatnya untuk melaksanakan sholat subuh.

Saat matahari masih belum naik kepermukaan, Aisyah sudah sibuk  berkutat dengan laptop mungil berwarna abu-abu miliknya. Tangannya dengan lincah meluncur dengan lincah atas keyboard.

Tak terasa satu jam telah berlalu. Aisyah merengangkan tubuhnya. Matanya melirik jam yang sudah menunjukkan pukul enam dini hari.  Silau matahari berlomba menembus tirai jendelannya. Aisyah spontan berjalan kearah jendela, membuka tirai, membiarkan sinar matahari masuk dengan bebas ke dalam kamarnya.

Semburan cahaya yang masuk menerpa lembut wajahnya, spontan mata Aisyah menyipit. Sudut bibirnya terangkat naik. Menikmati suasana pagi di tempat yang ia rindukan. Tiba-tiba ada perasaan hangat yang aneh memenuhi dada. Ada rasa rindu dan sedih yang tidak Aisyah mengertu. Tanpa sadar tangannya bergerak pelan menulis sebuah  kalimat di jendela yang berembun.

"Tolong jangan bersedih. La Tahzan, Allah selalu bersamamu."

Sesaat Aisyah tertegun setelah menulis kalimat itu. Hatinya bertanya-tanya. Apa ini? Mengapa aku menuliskan kalimat ini?  Kenapa mendadak hatiku terasa pilu?

***

"Ya Allah .... " Hanya kata-kata itulah yang mampu meluncur dari mulut Fahmi begitu mengetahui kisah hidup Alex. "Apa lumpuh ini bersifat permanen? "

"Secara medis mengatakan 'ya'," Alex tersenyum, berusaha menghibur Fahmi yang nampak sedih dan kaget. "Apa pun itu, saya sangat yakin takdir Allah begitu indah. Jadi tidak ada alasan bagi saya untuk mengeluh soal keadaan ini."

"Sungguh besar hati mu, Nak." Fahmi menepuk haru pundak Alex. Ketegaran Alex membuatnya takjub dan terkesima.

"Saya tidak pantas mendapatkan pujian itu, Ba. Bukan saya yang besar, Ba. Allah lah yang begitu baik membesarkan hati saya. Allah kirimkan sebuah kekuatan yang tidak pernah saya duga."

"Padel. Dia air yang telah berhasil memadamkan bagian diri saya yang telah terbakar. Bi, " Alex menggulum senyum membayangkan putra kecilnya dengan segala tingkah menggemaskannya yang selalu berhasil mengundang gelak tawa terbit di wajahnya.

Namun, semua itu akan menghilang saat Padel harus pergi meninggalkannya. Seketika senyum dari wajah Alex menghilang saat menyadari kenyataan itu.

"Apa yang terjadi ?" tanya Fahmi menyadari perubahan raut wajah Alex. Troy menjelaskan semuanya pada Fahmi.

"Insyallah, Padel akan selalu bersama kita," hibur Fahmi.

Alex mengangguk. "Insyallah, BI. Wallahi, saya akan terus berusaha meski kaki ini tak sanggup berdiri. Saya akan terus berjuang, mengetuk setiap pintu meski dengan cara merangkak sekali pun. Berharap kelak akan ada bidadari yang membukakan pintu dan menerima lamaran saya."

"Wallahi, aku bersyukur karena Allah mendatangkan pemuda sepertimu, mengetuk pintu rumahku. Tak akan kusia-siakan kesempatan ini. Wallahi, aku siap membantumu. Datanglah besok dan lamar putriku."

Deg! Alex tertegun ... ditelinganya tiba-tiba terdengar suara ...  La Tahzan, Allah selalu bersamamu.

"Izinkan putriku menjadi bagian dari perjuanganmu," sambung Fahmi membuat hati Alex seketika diselimuti perasaan yang tidak Alex mengerti. Apa dia bahagia?

***

Happy reading ....

salam hangat
Hannah qibtiyah

Sampul Lama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang