Alex meraih gelas yang berisikan seperempat air putih. Pria itu lalu meneguknya dan kembali menatap layar leptop dengan seksama. Beberapa menit kemudian, tangannya kembali melucur ke atas keyboard. Belum ada satu kalimat pun yang ia tulis. Fokusnya teralihkan. Tangannya malah sibuk kembali meraih gelas, menghabiskan sisa air putih di gelas.
Alex berharap dengan melakukan hal itu ia bisa menghilangkan dahaga sekaligus gugup yang tiba-tiba menyerangnya.Alex benar-benar bingung harus apa. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam, mencoba tenang. Mencoba memulai mengetik dengan apa adanya. Menuangkan semua yang terlintas dipikirannya lalu segera ia ketik.
"Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh."
Sebelumnya izinkan saya memohon maaf karena telah mengusik waktu anda selarut ini. Sejak tadi yang saya lakukan hanya menghapus dan mengetik. Sejujurnya ada rasa cemas yang membuat saya terus ragu. Tulisan saya sangat amatir dan mungkin juga buruk. Untuk itu saya kembali memohon maaf. Semoga meski jelek, tulisan ini bisa menyampaikan makna yang berusaha saya tuangkan. Selain itu saya juga berdoa semoga mata anda tidak memerah karena tulisan saya yang begitu kacau. Aamiin. Terima kasih karena telah bersedia membantu saya.
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh."
Send.
Alex tersenyum setengah puas, ia puas akhirnya ia mampu membuat kalimat pengantar setelah berkali kali hanya menghapus dan mengetik dan setengah tidak puas karena ia rasa kalimatnya terlalu kaku, aneh dan terkesan jayus.
Matanya kembali menjelajahi kalimat yang baru saja ia kirim. Membacanya berulang kali.
"Sangat aneh," gumamnya. "Entah apa yang akan ia pikirkannya setelah membaca pesan singkat ini," Alex seketika berdeham pelan membayangkan hal itu.
"Papa." Suara Padel membuyarkan fokus Alex pada layar, beralih pada bocah kecil berusia tujuh tahun yang langsung melompat kepangkuan Alex.
Alex dengan sigap menangkapnya, kursi pun berputar dengan kecepatan sedang.
"Lagi .... " Padel bersorak gembira.
Sebenarnya Alex tidak membutuhkan kursi itu tapi Padel bersikeras membelinya saat keduannya berjalan-jalan di mall, katanya ia menyukai kursi itu karena ia dapat berputar tidak seperti kursi roda Alex yang tidak dapat berputar. Padel bahkan bersikeras akan menabung demi kursi itu.
"Padel tidak tidur? Ini sudah larut malam."Alex melirik jam wekernya.
"Belum. Papa juga belum tidur. Like father like son."
Alex terkekeh mendengar jawaban cerdas yang di berikan putra kecilnya itu.
"Sebentar lagi papa tidur, bukannya Padel tadi tidur dengan kakek ? "
"Iya, Padel tidur dengan kakek tadi tapi kakek tidurnya kecepetan. Kakek gak bisa dongeng, jadi Padel yang dongengin dan kakek tidur pulas."
"Wah bagus dong, itu artinya Padel jago ngedongeng buktinya kakek langsung tidur."
"Ya gitu deh, Pa. Terus Padel liat kamar Papa masih terang, jadi Padel langsung ke sini aja. "
"Kalo gitu malem ini Padel tidur sama papa aja. Padel mau, kan? "
"Papa yang dongengin Padel, kan?"
Alex mengangguk.
"Hore!" Padel langsung turun dari pangkuan Alex. Buru-buru naik ke kasur dan menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampul Lama
SpiritualSequel dari Tabir Di Balik Cadar *** Saat cinta tak butuh mata untuk memilih maka ia juga tak butuh telinga untuk mendengar alasan agar kembali. "Cinta nama lain dari harapan. Dan berharap pada manusia adalah sepahit pahitnya harapan". (Aisyah Sal...