Dengan sangat hati-hati seorang dokter membuka perlahan perban yang menutup mata gadis bercadar itu.
"Sekarang coba buka perlahan."
Instruksi itu membuat jantung Aisyah berdebar kencang. Rasa haru menyelimuti hatinya. Kini ia bisa melihat keindahan dunia lagi.
"Perlahan saja."
"Baik, Dok."
Aisyah mengangguk, pelan-pelan Aisyah membuka kelopak matanya. Semburan cahaya langsung memenuhi matanya, silau sejenak ia rasakan, sebelum semuanya mulai terlihat jelas.
Aisyah bisa melihat wajah semua orang yang kini menatapnya cemas. Aisyah terisak senduh, mengucap syukur tiada henti.
"Masyallah, mata ini indah sekali ..." Aisyah tertegun menatap warna kornea matanya yang kini telah berubah.
"Dok, saya ingin tahu siapa orang baik yang telah mendonorkan matanya untuk saya?" pinta Aisyah entah sudah keberapa kalinya.
Sekali lagi, dokter muda itu menghela napas panjang dan menggeleng.
"Tapi kenapa, Dok?"
"Ini permintaan terakhirnya sebelum wafat."
****
"Gue rasa selain bajingan, lo juga gak punya malu!" Suara bariton itu diikuti dengan tatapan tajam penuh permusuhan.
Alex menghela napas panjang, tetap tak bergeming menghadapi kemarahan cowok di hadapannya itu. Pertemuan pertama mereka setelah berbulan-bulan tidak bertemu juga tidak berlangsung dengan baik, Alex pulang dengan wajah memar, rahangnya nyaris patah akibat pukulan bertubi-tubi yang Tristan berikan.
"Pergi lo dari hadapan gue!" Tristan menghela napas kasar.
"Jangan coba uji kesabaran gue! Gue muak liat wajah lo! Setiap kali gue wajah lo, gue selalu liat bagaimana Aisyah yang begitu menderita karena lo!" Tristan mengepal keras tangannya, terlihat jelas kalo cowok itu berusaha menahan kemarahannya.
"Gue tahu gue salah. Karena itu gue mau memperbaiki semuanya! Gue mau Aisyah kemba—"
Pukulan mendarat keras di wajah Alex. Alex meringgis menahan rasa nyeri yang langsung menjalar di wajahnya.
"Jangan pernah sebut nama itu dengan mulut kotor lo itu !" Tristan menggeram, kesal. "Lo udah buat gadis sebaik Aisyah hancur? Apa lo gak puas?"
"Gue menyesal. Kalo gue bisa putar waktu, gue bakal ubah semuanya. Gue ke sini karena ingin memperbaiki semuanya. Lo harus kasih tahu gue sekarang Aisyah di mana? Dila pasti tahu Aisyah ada di mana. Tolong beri tahu gue ... gue mohon."
Tristan tersenyum sinis. "Gak akan! Gue gak sudi biarin lo nyakitin Aisyah lagi ! Sudah cukup, Lex !"
"Lo gak akan pernah bersama Aisyah lagi !"
Alex meringgis setiap kali mengingat kalimat itu. Kalimat itu bagai sembilu yang menusuk hatinya. Rasa nyeri itu selalu hadir membuatnya sesak. Itu tidak akan terjadi ... gue dan Aisyah akan bersama lagi, kan? Sangkal Alex entah sudah keberapa kalinya.
"Alex, apa ada sesuatu yang membuatmu tidak nyaman?" tanya Khayla yang sendari tadi diam-diam memperhatikan Alex yang hanya memandang lurus tanpa berniat menyentuh makanan di hadapannya.
"Hm ... tidak, bukan, hm, maaf ...." Alex merasa kikuk memandang sekitar. Mereka berada di sebuah cafe untuk makan siang. Namun, sendari tadi Alex malah larut dalam lamunannya.
Khayla tersenyum kecil, berusaha memaklumi Alex. "Tidak masalah, tidak perlu meminta maaf."
Setelah percakapan itu, keduanya saling fokus dengan makanannya masing-masing. Sesekali Khayla bertanya tentang Padel. Alex berusaha menjawab sebaik mungkin, meski percakapan mereka masih terasa canggung dan aneh. Baik Alex dan Khayla, keduanya berusaha untuk menghilangan kecanggungan yang ada.
"Apa tidak masalah jika saya pergi sekarang?"tanya Khayla begitu mematikan panggilan di ponselnya. "Ada keadaan darurat di rumah sakit," ujar Khayla, raut wajah gadis itu terlihat panik.
"Ya, tidak masalah. Biar saya antar—"
"Tidak perlu, Lex," sela Khayla cepat. "Saya harus cepat. Sepertinya akan lebih baik saya memesan ojek. Itu tidak masalah, kan?"
Alex mengangguk maklum. Khayla segera pergi meninggalkan Alex. Saat tengah makan, Alex dikagetkan dengan suara yang sangat familia dari arah pintu cafe. Begitu Alex menoleh, maniak matanya bertemu dengan maniak mata pemiliki suara itu.
"Tristan ...." Alex bergumam spontan.
Keduanya terpaku menatap satu sama lain dengan keterkejutan yang sama. Sudah lama mereka tidak bertemu. Tristan tidak banyak berubah dari terakhir Alex melihatnya, yang berbeda hanya kini tidak ada lagi raut kebencian pada wajah Tristan untuknya. Tristan bahkan kini berjalan ke arahnya.
"Lex ...." sapa Tristan. "Lo masih marah sama gue?
Lo gak akan pernah bersama Aisyah lagi .... kalimat itu kembali mengingiang di kepala Alex saat melihat Tristan.
"Gue boleh duduk di sini, kan?"
"Ya ...."
"Gue udah tahu semua, Lex." Tristan memulai pembicarannya. "Gue minta maaf atas keputusan gue waktu itu. Mungkin kalo gue lebih cepat kasih tahu lo info soal Aisyah, semua gak akan kayak gini."
"Lo gak salah. Sebagai teman yang baik, lo udah melakukan hal yang benar. Gue yang seharusnya minta maaf ke lo."
"Sudah lama gue pengen minta maaf sama lo, tapi gue gak pernah dapat informasi soal lo lagi setelah insiden itu. Gue kira kita gak akan pernah ketemu lagi."
Alex tersenyum getir. "Gimana kabar lo sekarang?"
"Gue?" Tristan tiba-tiba terkekeh pelan. "Masih jadi jomblo."
"Dan Dila ? Gimana kabar dia?"
"Sama, masih jomblo akut."
Keduanya lalu terkekeh. Kecanggungan yang ada perlahan terkikis.
Alex dan Tristan ngobrol banyak tentang kehidupan mereka sekarang. Kepada Tristan, Alex menceritakan soal dirinya yang telah menjadi ayah sambung untuk Padel.
"Gue jadi penasaran pengen ketemu Padel," ujar Tristan setelah Alex menceritakan mengenai Padel dan semua ulah jahilnya.
Sambil tertawa Tristan membayangkan bagaimana Padel kecil yang mengingatkannya dengan si kancil yang cerdik.
"Dia sebentar lagi datang ke sini sama papa gue." Tidak lama Alex mengatakan itu, suara lonceng pintu cafe mengintrupsi keduanya. Keduanya sama-sama menoleh, melihat siapa orang yang baru datang.
"Itu papa lo, kan?" tanya Tristan memastikan saat melihat Troy berjalan ke arah mereka.
Alex mengangguk, membenarkan.
"Di mana Padel ?" tanya Tristan ketika tidak mendapati anak kecil di sisi Troy.
"Di sini ....." seru suara anak kecil membuat Tristan terlonjak kaget.
"Padel, jangan lakukan itu! Tidak baik mengagetkan orang lain! " tegur Troy begitu sampai di meja.
"Padel ?" Tristan menoleh pada Troy.
Troy tersenyum seraya mengangguk pelan.
****
Happy reading
Salam hangat
Hannahqibtiya
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampul Lama
SpiritualSequel dari Tabir Di Balik Cadar *** Saat cinta tak butuh mata untuk memilih maka ia juga tak butuh telinga untuk mendengar alasan agar kembali. "Cinta nama lain dari harapan. Dan berharap pada manusia adalah sepahit pahitnya harapan". (Aisyah Sal...