Ines tersenyum haru, tidak menduga ditengah masalah yang dihadapi Alex, ia masih ingat dan mau memenuhi keinginannya yang bisa di bilang 'konyol' untuk gadis seusianya. Ines jadi semakin nekat untuk bisa membantu Alex atau minimal meringankan beban Alex.
Kendala yang Ines hadapi hanya satu, otaknya tidak menemukan cara apa pun. Semakin dipikir, ia semakin bingung. Stuck. Pikirannya hanya berputar-putar tanpa menemukan jawaban. Udara seger dan bunga indah di taman bahkan tidak mampu membuat otak Ines menjadi rileks.
Dan entah bisikkan dari mana, Ines malah teringat perkataan Dokter Zakie pekan lalu.
"Siapa tahu dia bisa bantu gue," gumam Ines, tanpa berpikir dua kali ia asal saja menekan tombol hijau di ponselnya, tersambung. Ines panik, segera dengan cepat mematikan panggil telepon. Berkali-kali gadis itu mengumpat dirinya karena telah mengambil tindakan bodoh. Memangnya pria dingin itu akan mau membantunya? Bagaimana jika Dokter Zakie malah mengejeknya? Mau taruh di mana wajahnya.
"Semoga dokter itu gak sadar ada panggilan tidak terjawab di ponselnya." Doa Ines kali ini benar-benar tulus dari hatinya. Ines tidak menyangka setelah berdoa hatinya benar-benar terasa lega. Ada sebagaian kekhawatiran yang lenyap begitu saja dibenaknya.
"Kita ini bisa apa sih? Sehebat apa pun kita, kita akan melemah. Sebesar apa pun kekuasaan kita, kita tidak akan bisa membeli kebahagian. Sepintar apa pun otak kita, kita bisa pelupa. Pada hakikatnya begitulah kita, kita tetaplah makhluk yang bukan apa-apa. Makhluk yang lemah dan akan selalu butuh pencipta."
"Lagi mikiri saya ya? "
Ines terperanjat mendapati Dokter Zakie berdiri di hadapannya.
"Kenapa wajahnya kaget gitu?" tanya Dokter Zakie. "Tebakan saya benar ya? Kamu lagi mikirin saya, kan?"
"Gak!" elak Ines cepat.
Dokter Zakie tertawa melihat wajah panik Ines.
"Geer ! Siapa juga yang kuranf kerjaan mikirin anda," dengus Ines keras.
Dokter Zakie tidak melakukan kesalahan, tapi entah kenapa setiap melihat Dokter Zakie kepalanya selalu memunculkan bendera perang. Dia selalu ingin marah.
"Kamu masih marah pada saya ?"
"Masih dan selamanya,"ketus Ines.
"Terus saya harus lakuin apa biar kamu gak marah-marah lagi sama saya?"
"Jauh-jauh dari saya !" sahut Iness asal.
Diluar dugaan Ines, Dokter Zakie menganggap serius permintaannya. Pria bertubuh tinggi itu berbalik hendak pergi menjauh. Ines yang menyadari hal itu buru-buru mengejar Dokter Zakie.
"Tunggu ...." teriak Ines. "Sebenarnya saya ingin meminta bantuan ...."
"Bantuan—"
"Hm, jika anda berkenan ... atau tidak? Tidak ya? Oke lupakan saja," jawab Ines cepat.
"Bahkan saya belum menjawab." Dokter Zakie terkekeh pelan melihat Ines salah tingkah. "Apa yang bisa saya bantu?"
"Hm, saya ingin bertanya soal ...." Ines sedikit ragu. "Apa Allah bisa membantu masalah saya? "
Pria itu mengerjap laku tersenyum. "Tentu saja sangat bisa. "
"Kenapa dokter yakin sekali ? Apa dokter tidak pernah dikecewakan oleh Allah. Misalnya saat Dokter meminta sesuatu dengan dan tidak kunjung Allah kabulkan? Bukannya Allah berfirman akan mengabulkan setiap doa hambanya? "
"Saya gak hanya yakin sekali, tapi saya yakin berkali-kali."
"Kenapa?"
"Coba saya balik pertanyaannya, kenapa kamu gak yakin sama Allah? Karena satu doa kamu yang gak terkabul?"
Ines mengangguk pelan.
"Apa satu hal itu?"
"Saya berdoa agar Allah mengembalikan kesehatan bunda. Tapi, Allah malah mengambil Bunda." Ines menahan suaranya agar tidak terdengar gentar. Ines tidak mau orang lain melihat kelemahannya.
"Kehilangan ibu bagi seorang anak merupakan luka yang tidak akan pernah hilang. Saya paham itu ... saya turut berduka cita untuk kamu."
"Dokter gak pernah paham apa yang saya rasakan saat kehilangan–"
"Saya juga merasakan apa yang kamu rasakan."
Ines menoleh, melihat ke arah Dokter Zakie, tidak percaya. Dokter Zakie tersenyum sendu.
"Sama seperti kamu, saya juga hancur. Saya harus bertahan mati-matian untuk melewati fase itu. Saat itu saya sedang koas, fase dimana saya sangat butuh dukungan Ibu di sisi saya. Namun, Allah memiliki takdir lain, Allah mengambil ibu dalam kecelakaan beruntut tepat di mata saya. Di hari ulang tahun saya."
"S-saya tidak bermaksud membuat Dokter sedih ...."
Dokter Zakie mengangguk paham. Keduanya terdiam, setelah itu. Tenggelam dalam lamunan masing-masing membiarkan suara angin mengisis keheningan di antara mereka.
"Bagaimana bisa Dokter setegar ini?" Ines kembali membuka suara.
"Karena saya percaya selalu ada hikmah di balik setiap kejadian. Kehilangan ibu membuat saya hancur dan rapuh. Kesedihan itu menyadarkan saya betapa lemahnya saya. Kesombongan saya runtuh seketika. Sehebat apa pun saya menjadi dokter, tetap saja saya tidak bisa menyelamatkan ibu saya.
"Kejadian itu menjadi titik balik dalam hidup saya. Saya mulai mendekatkan diri pada-Nya."
"Allah itu Maha Tahu. Allah tahu yang terbaik bagi hambanya. Jika kita meminta lantas permintaan kita tidak dikabulkan, mungkin apa yang kita pinta bukan yang terbaik untuk kita. Allah memberi apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Terlebih lagi jika yang kita inginkan itu bukan hal yng terbaik buat kita."
Ines kehilangan kata-kata. Bukan cuma dirinya yang kehilangan, bukan cuma dia yang bersedih, tapi hanya dia yang paling berisik. Semua orang juga kehilangan, tapi mereka tetap setenang dan seikhlas itu menghadapi semuanya. Ines bahkan tidak pernah menduga kalo Dokter Zakie pernah sehancur dirinya.
"Saya beruntung dipertemukan dengan seorang sahabat yang membantu saya mempelajari agama Islam ...."
"Siapa orang baik itu, Dok? Apa saya bisa bertemu dengannya?"
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampul Lama
SpiritualSequel dari Tabir Di Balik Cadar *** Saat cinta tak butuh mata untuk memilih maka ia juga tak butuh telinga untuk mendengar alasan agar kembali. "Cinta nama lain dari harapan. Dan berharap pada manusia adalah sepahit pahitnya harapan". (Aisyah Sal...