Alex menghela nafas berkali-kali. Seolah isi kertas itu akan berubah setelah ia melakukan hal itu.
"Papa, papa kenapa sih sekarang sedih terus? Papa marah sama Padel?"Padel beringsut memeluk Alex.
Alex segera menyembunyikan secarik kertas itu di belakang punggungnya, lalu membalas pelukan Padel dengan hangat.
"Papa gak marah sama Padel." Alex segera mengusap kepala Padel, menenangkan.
"Atau papa sedih karena bunda ninggalin kita?" Padel menyembulkan kepalanya dari pelukan Alex.
Alex tersenyum lembut. "Setiap yang bernyawa pasti akan pergi, kita hanya menunggu kapan waktunya datang. Kematian itu hanya memisahkan papa dan bunda di dunia, tapi insyallah akhirat akan mempertemukan kita lagi."
"Terus papa kenapa sedih?"
Alex masih mempertahankan senyumnya. "Papa gak akan sedih, apa lagi ada Padel. "
"Padel udah besar, Pa. Padel tahu papa sedih karena hak asuh Padel, kan?" Padel mendongka menatap wajah kaget Alex.
"Ih kata siapa ? "Alex berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya dengan berpura-pura tersenyum. "Udah sekarang Padel mandi dulu. Udah bau asem."
"Padel udah mandi, Pa!" Padel manyun tidak terima dengan bau asem yang Alex sematkan padanya.
"Kata Kakek, Papa yang belum mandi. Sejak tadi papa cuman bengong aja."
"Oh iya... Papa lupa kalo yang bau asem itu papa. Papa kan belum mandi. " Alex terkekeh.
"Ih dasar Papa." Padel menutup hidungnya. "Padel gak mau deket-deket Papa, entar Padel jadi nular bau.... "
Perkataan Padel menarik seulas senyum di wajah Alex, pikiran jahil memenuhi kepalanya. Dengan sekalian tarikan pelan, Padel sudah berada dalam pelukan Alex.
Bocah itu menggeliat protes lalu mengerutu setelah aksinya gagal.
Alex terkekeh. "Papa wangi, kan?"
****
"Tidak akan! " tegas Alex. "Saya memang tidak memiliki surat resmi mengadopsi Padel. Tapi saya sudah di amanahkan untuk menjaga Padel."
"..."
"Saya sering mengajukan surat adopsi tapi kalian lah yang mempersulit segalanya. "
"..."
"Kalian tidak bisa merebut Padel dari saya. Dia hanya anak kecil dia butuh kasih sayang. Dan apa jaminan jika ia tinggal di panti asuhan, ia bisa mendapat kasih sayang keluarga."
"......"
"Materi dan keutuhan keluarga tidak bisa menjamin seorang anak bahagia. Kebahagiaan datang dari hati bukan paksaan! "
"...."
"Tidak akan." Alex menghembus nafas, ia lantas mematikan sepihak sambung telepon.
Alex lantas menyimpan ponselnya di dalam nakas, lalu tangannya beralih mengambil sebuah bingkai lukisan. Seulas senyum seketika menghampiri wajah gusarnya, teringat kapan lukisan itu di ambil.
"Alex ...."
Ingatan bahagia Alex tentang lukisan itu terhenti begitu Troy menepuk pelan pundaknya.
"Pa, lihat lukisan ini ...." Alex menyodorkan lukisan itu pada Troy. Troy tersenyum tipis begitu melihatnya.
"Papa masih ingat kapan lukisan ini di ambil?" tanya Alex.
"Lukisan itu di ambil saat Padel tepat berusia 5 bulan. Saat itu saya masih begitu takut menggendong bayi."
"Takut jika sentuhan tangan ini mampu menyakiti bayi kecil itu ..."
Seraya tersenyum, pandangan Alex menerawang jauh melanjutkan kalimatnya.
"Namun, di luar dugaan saat Padel tiba-tiba menangis dan tak kunjung berhenti, sentuhan tangan saya ternyata mampu meredam tangisnya. Padel bahkan tersenyum dalam momen ini ...."
Saat Alex menoleh, Alex terkejut mendapati ayahnya itu diam-diam terisak di sudut ruangan.
"Alex keputusan pengadilan mengatakan bahwa Padel tidak bisa bersama kita. Cepat atau lambat kamu harus melepasnya."
"Tidak, Pa! Padel akan terus bersama kita. Alex akan bawa Padel jauh dari sini."
"Tapi kemana?" Troy menahan kedua pundak Alex. Kedua mata mereka bertemu. Troy menatap lekat-lekat putranya itu. Tekad bukat pada mata Alex membuat Troy merasa getar.
"Jangan lakukan itu Alex. Papa mohon. Kabur tidak akan menyelesaikan masalah."
****
"Mau kemana kita, Pa? Kenapa kita pergi di hari Senin. Papa lupa kalo hari ini Padel sekolah."
"Kita akan pergi ke suatu tempat yang sangat indah. Tempat ini tidak pernah akan memisahkan kita."
"Tempat bunda? Ke surga? Kita mau ke surga? Terus kakek gimana? Kenapa kakek gak ikut?"
Alex tersenyum gentir, yang ingin ia lakukan sekarang hanyalah memeluk putranya itu.
"Papa sayang Padel. Ingat pesan papa, jangan pernah tinggalkan Allah. Jangan pernah tinggalkan sholat dan jadilah anak yang sholeh dan berguna bagi semuanya. Jadilah kecerdasan yang berintelektual islami. Jadilah hujan yang mengandung manfaat bukan bencana."
"Padel bisa, kan? " Alex menatap lekat putranya. Padel mengangguk.
"Alex." Troy berjalan mendekat pada putranya.
"Nak, apa kamu sudah siap?" Suara Troy bergetar. Orang tua mana yang rela membiarkan anaknya pergi begitu saja?
"Insyallah. Saya siap, Pa. "
"Wallahi.... Semoga Allah melindungimu. "
Alex mengangguk.
"Ayo kita masukan semua barangmj ke mobil. "
Alex mencium tangan Troy dengan khidmat, tanpa terasa air mata merembes begitu dari matanya.
"Selama ini tidak ada yang bisa saya lakukan demi kebahagiaan papa. Saya hanya bisa membuat papa bersedih.
"Sejak dulu, saya tidak bisa menjadi bulan dalam gelapnya malam kita tanpa mama. Saya malah menjadi meteor yang selalu membakar gelapnya malam. Saya minta maaf, Pa."
"Tetaplah bahagia dimana pun kamu berada. Papa akan selalu menanti kepulanganmu di sini."
Keduanya berpelukan dalam, rasanya Troy tidak ingin melepas pelukan itu. Ia ingin bersikap egois dan mengatakan semuanya.
"Maafkan saya Sinta, sekali lagi saya gagal menjadi ayah yang baik untuk putra kita ...." desis Troy begitu Alex pergi melanju dengan mobilnya.
***
Revisi
Senin, 8 April 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampul Lama
SpiritualSequel dari Tabir Di Balik Cadar *** Saat cinta tak butuh mata untuk memilih maka ia juga tak butuh telinga untuk mendengar alasan agar kembali. "Cinta nama lain dari harapan. Dan berharap pada manusia adalah sepahit pahitnya harapan". (Aisyah Sal...