Tidak bisa dipungkiri Alex pernah berjanji pada Ines, bahwa ia akan membantu Ines mendapatkan 100 tanda tangan penulis. Sebenarnya Ines menolak hal itu, Ines telah membebaskan Alex dari janjinya. Namun Alex tetap bersikukuh untuk memenuhi janjinya.
Hari ini Alex ingin memenuhi janjinya pada Ines. Tiba-tiba ponsel Alex bergetar di dalam sakunya. Ada pesan masuk di ponselnya.
Tristan :
Lo di mana? Gue baru dapat kabar soal kecelakan lo. Kenapa lo gak kabarin gue?Alex :
Oh iya, gue lupa ngabarin lo. Maaf ya. Alhamdulilah, kondisi gue udah membaik. Hanya perlu rawat jalan aja sekarang.Tristan :
Insyallah, besok gue ke rumah lo ya. Sekalian bawa catatan yang lo pinta.Alex :
Oke. Makasih ya San. Maaf gue jadi ngerepotin, Lo.Tristan :
Udah gak perlu merasa sungkan. Itung-itung ini cara gue buat nebus salah gue sama lo. Sejujurnya, gue masih merasa bersalah soal hari itu. Gue tahu, gak baik berandai, tapi kalo bisa minta satu hal yang diulang, gue pengen banget langsung kasih tahu lo soal keberadaan Aisyah. Ceritanya pasti gak akan jadi serumit ini.Alex tertegun sesaat setelah membaca pesan Tristan. Berapa kali pun dia meminta Tristan berhenti menyalahkan dirinya, tapi Alex tidak bisa menghapus semua perasaan bersalah Tristan. Alex hanya bisa berdoa, semoga Tristan bisa menerima takdir ini sebagaimana Alex telah menerimanya dengan hati yang lapang.
Bagi Alex kini, ia percaya kalo apa pun takdir yang sudah terjadi dihidupnya adalah takdir yang akan membawa hikmah baik sebelum ataupun sesudahnya. Ia hanya perlu bersabar dan bertawakal.
Alex :
Lo teman terbaik yang gue punya. Makasih ya.Send.
Alex memasukan kembali ponselnya di dalam saku. Ia kini telah berada di gedung yang disulap menjadi perpustakaan raksasa. Alex datang sendirian karena Padel sedang berkemah dan Troy—sedang dalam pertemuan mendadak di perusahan mereka.
Tidak ada yang Alex kenal di sini. Namun, Alex merasa cukup nyaman berada di sana. Selagi menunggu perlombaan dimulai, Alex hanya berkeliling-keliling menggunakan kursi rodanya untuk melihat beberapa pameran buku, bazar buku dan beragam aksesoris anak untuk Padel. Alex membeli beberapa buku untuk dirinya dan beberapa aksesoris lucu untuk Padel. Selain itu, Alex juga berhasil mendapatkan 99 tanda tangan penulis.
"Baiklah, kepada seluruh peserta diharapakan untuk segera berkumpul di aula yang telah disediakan panita. Karena sebentar lagi perlombalan akan segera dimulai."
Mendengar hal itu, Alex segera mengayung kursi rodanya menuju aula. Kendati niat utama Alex hanya untuk mendapatkan tanda tangan para penulis, tapi Alex benar-benar berusaha membuat novel sebaik mungkin. Dan usahnya ini tidak luput dari bantuan Hawari, sahabat barunya itu. Alex berjanji pada Hawari akan menujukan persentasi terbaik mengenai bukunya.
"Permisi, bisa lihatkan nomor pesertanya?" Alex mengambil secarik kertas dari dalam saku kemeja kotak-kotaknya berwarna hitam merah. Gadis belia dengan jilbab cream yang di lehernya tergantung id card
bertulis panitia, segera mengecek nomor Alex dengan seksama."Baiklah. Ini, snacknya. Silahkan duduk di kursi sebelah sana." Gadis itu menunjuk ke salah satu kursi bernomor 110 atas nama Alex D.
Ini perlombaan pertama dan pengalaman pertama bagi Alex. Ia sedikit gugup. Alex sama sekali tidak tahu seperti apa lomba menulis yang dia ikuti. Beruntung ada Hawari yang mau membantunya. Semalam, Hawari dengan sadar menjelaskan pada Alex tentang lomba kali ini.
Lomba menulis ini sangat unik. Ada dua babak yang harus Alex lalu. Babak pertama, akan diawali dengan persentasi secara keseluruhan mengenai bukunya. Jika berhasil di babak pertama, kemudian dilanjutkan dengan babak kedua yaitu penilaian tertulis mengenai novel secara keseluruhan oleh para juri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampul Lama
SpiritualSequel dari Tabir Di Balik Cadar *** Saat cinta tak butuh mata untuk memilih maka ia juga tak butuh telinga untuk mendengar alasan agar kembali. "Cinta nama lain dari harapan. Dan berharap pada manusia adalah sepahit pahitnya harapan". (Aisyah Sal...