Mengetuk Pintu

1K 113 5
                                    

Ines berjalan gontai menyusuri taman. Kali ini, ia sama sekali tidak menikmati hobi berjoging di pagi harinya. Ines malah diliputi perasaan gelisah. Raganya di taman, tapi pikirnya di rumah sakit atau mungkin bersembunyi di balik bangsal rumah sakit.

"Fokus, Ness !" Ines bergumam pelan, menarik napas dalam-dalam agar rileks, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Pikirannya makin kusut ditambah hatinya ikut gelisah.

"Apa keputusan gue ini salah?" Ines spontan mengacak rambutnya, frustasi. Ia tidak tahu harus melakukan apa untuk membantu Alex. Kecerdasan yang selama ini selalu ia bangga-banggakan mendadak tidak berguna sama sekali.

"Huf .... "Ines menendang kosong rerumputan hijau di hadapannya sebagai pelampiasan rasa kecewa yang menerpanya.

"Kenapa sih otak gue yang pinter ini gak berguna di saat penting kayk gini? Kenapa gue gak bisa nyelesain masalah pake otak 'pinter' gue ini! Gue dokter lulusan termuda. Gue juga termasuk ke dalam urutan orang terpintar di dunia!"

"Tapi kenapa kepintaran gue gak guna sekarang? Kenapa gue gak bisa nemuin solusi apa pun dari otak super cerdas gue ini! Kenapa gue gak bisa ngelakuin apa pun!! " teriak Ines kesal.

Tanpa Ines sadari, teriakannya  menarik seorang pria menoleh ke arahnya.

"Karena kamu bukan tuhan !" Ines menoleh, mencari pemilik suara itu.

"Dokter Zakie? Dokter Zakie di sini juga? Dokter Zakie nguping omongan saya ya!" tuduh Ines sengit.

Seseorang yang Ines sebut 'Dokter Zakie' itu tertawa renyah. "Saya tidak menguping apa pun. Kamu sendiri yang memberi tahu semua orang! Ini taman. Dan barusan kamu berteriak."

Wajah Ines memerah, ia baru menyadari kebodohannya barusan yang telah lepas kontrol dan berteriak tidak jelas.

"Kalo kamu punya masalah, datanglah pada Allah biar Allah yang akan memberi solusi bagimu. Jangan memaksakan otak super kecil mu itu terlalu keras, karena itu bukan kemampuannya."

"Terima kasih telah mengingatkan saya. Saya mau pulang dulu," jawab Ines cepat.

Sebenarnya perkataan Dokter Zakie berhasil menyentilnya membuatnya sangat malu. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ada perkataan orang yang berhasil  masuk ke hatinya.

Ines jadi teringat bahwa telah lama ia melupakan keberadaan 'Allah' terlalu sombong atas apa yang Allah berikan padanya. Merasa bisa melakukan semuanya dengan otak cerdasnya. Namun, lihatlah sekarang, satu masalah saja berhasil memporak-porandakan akalnya.

"Mau kabur?"

Seulas senyum manis di wajah Dokter Zakie malah disalah  diartikan Ines sebagai senyum mengejek, mendadak rasa malu Ines tertutupi rasa kesalnya.

"Masih mau membanggakan otak pintarmu?"

"Bukan urusan Dokter !" sahut Ines ketus. Ia kembali melanjutkan langkahnya untuk pergi. Berpura-pura acuh.

"Sekuat apa pun kamu gak akan bisa mengantikan posisi Allah! "

Ines kembali menoleh. Kali ini tatapan tajam ia lemparkan pada Dokter Zakie yang tersenyum tipis menatap rerumputan hijau.

"Sok ganteng. Emang dia pikir, dia ganteng. Ish," gumam Ines, kesal.

"Makasih udah transfer pahala gratis free tanpa ongkir." Lagi-lagi Dokter Zakie tersenyum.

Sampul Lama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang