Bila rindu, ingatan tentangmu begitu syahdu.
Bila temu, hatiku tak akan mampu.
Maka, aku tak tahu bagaimana melafadzkan rindu.
Haruskah bulir-bulir air mata mengabarkannya padamu?
***Han, lelaki bermata sipit, penuh semangat dan tak pernah mau mengalah. Ia ditakdirkan bersaudara dengan Ran, lelaki manis dan agamis. Ayahnya seorang kepala Pabrik Pengolahan teh di Kota Bandung.
Mereka hidup bersama di sebuah rumah di tengah perkebunan teh. Sedangkan ibunya telah meninggal ketika Han terlahir ke dunia.
Usia ke tiga belas menjadi ledakan amarah bagi Han. Ia tak terima karena sering disangka keturunan Korea. "Hai Oppa Han!" begitu biasanya ia disapa. Han meyakini namanya menjadi penyebab utama.
Sejak kecil, Han memang bermasalah dengan nama. Sejak SD, ia marah apabila ada yang memanggilnya dengan nama lengkap; Dahan. Ia pun tidak pernah mau menjelaskan nama lengkap kakaknya, Ranting. Biasanya ia tetap akan memanggil Abang Ran dalam situasi apapun. Ia tidak mau lagi diejek keluarga pohon.
Serba salah. Memakai nama Han atau Dahan ada resikonya. Ia pun mulai mengusik ketenangan kakaknya. Ran dipaksa mencari tahu arti nama mereka yang menurutnya sangat aneh. Ia pun meminta penjelasan pada ayahnya, temannya, gurunya, hingga berkata lirih pada ibunya yang telah di surga, "Apakah arti namaku?"
***
Nah, apakah Han dapat menemukan arti namanya? Dan siapakah yang tiba-tiba membuat hatinya bergetar, hingga terucap rindu?
Banyak yang mengira, yang dirindukan oleh Han adalah ibunya. Tapi, saya tegaskan, bukan. Makin penasaran kan? Ikuti terus kisahnya ya.
***
Bismillah, ide novel ini sejak tahun 2011 an. Baru mampu saya tuliskan tahun 2015. Sungguh, novel ini seperti memiliki 'ruh', sehingga beberapa kisah menjadi kenyataan. Qodarullah.
Novel ini ditulis sebagai usaha mengajak pada kebaikan. Di tengah banyaknya tulisan di wattpad yang sangat memprihatinkan, terutama untuk kaula muda.
Seperti kekhawatiran Shalahuddin Al-Ayubi dalam kalimatnya, “Jika kau ingin menghancurkan negara manapun tanpa perang, buatlah perzinahan dan ketelanjangan menjadi hal yang umum di kalangan generasi muda."
Selama ini, mungkin kita tidak terlalu menggubris jalur masuk perzinahan dan LGBT lewat tulisan. Padahal hal ini sudah marak terjadi.
Maka, dengan kecemasan itulah, saya beranikan menulis. Saya lebih memilih menandingi tulisan-tulisan kurang baik dengan menulis yang baik-baik saja. Daripada, saya membenci tulisannya dan memaki para penulisnya. Lalu mencoba melarang terbitnya tulisan-tulisan semacam itu, sedangkan media informasi sudah seperti sekarang ini. Sangat sulit dikendalikan.
Seperti yang dinasihatkan Buya Hamka, pada tahun 1969, ketika ditanya tentang pelarangan buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer, "Kalau tidak suka pada isi sebuah buku, jangan buku itu dilarang, tapi tandingi dengan menulis buku pula."
Semoga tulisannya bermanfaat ya.
Salam,
Amirah Hanif
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Lafaz
ChickLitBila rindu, ingatan tentangmu begitu syahdu. Bila temu, hatiku tak akan mampu. Maka, aku tak tahu bagaimana melafadzkan rindu. Haruskah bulir-bulir air mata mengabarkannya padamu? ***