Ranting Patah

965 105 2
                                    


“Assalamu’alaikum…Aku pulang!”

Han melemparkan tas ranselnya ke sembarang arah. Langkahnya menuju lemari es, mengambil sebotol air mineral, kemudian meneguknya dengan semangat.

“Abang Ran?”

Han membuka pintu dapur. Tidak ada siapa-siapa. Bukannya tadi Abang pulang lebih dulu.

Han beranjak, membuka pintu kamar, pelan sekali hingga suaranya berdenyit. Matanya melihat sekeliling. Gelap. Ia menyalakan lampu. Tiba-tiba suara jeritan melengking dari pojokan kamar. Han melompat, ia menemukan Ran tengah menggigil ketakutan.

“Abang? Kenapa, Bang?”

Suara Han bergetar. Ia belum pernah melihat kakaknya dalam kondisi ketakutan seperti itu. Ran bersimbah keringat. Badan tinggi kurusnya melengkung di kolong meja.

“Abang Ran? Mau ku ambilkan minuman hangat?”

Ran tetap menggigil. Air matanya mengalir membasahi pipinya, menetes hingga lantai. Wajahnya pucat, dengan mulut yang terus bergerak seolah ingin berucap.

Han tertegun, badannya gemetar. Abang Ran, apa yang harus aku lakukan?

Han segera berdiri, lalu berlari ke luar rumah. Kakinya yang mulai lemah selepas mengayuh sepeda, dipaksa berlari menuju pabrik pengolahan teh.

Jalan setapak yang diapit perkebunan teh melengkung dan terjal. Han tak memperdulikan semak dan kerikil yang menghantam kakinya. Bahkan ia tak peduli kalaupun ada ular yang melingkar di dalamnya.

Ia terus berlari dengan nafas terengah-engah.

“Ayaaah?”

Han menerobos masuk ke dalam pabrik. Melewati daun-daun teh yang sedang dilayukan. Kemudian menaiki anak  tangga menuju bagian penggilingan. Matanya waspada melihat para pegawai yang sedang sibuk bekerja.

Han menaiki anak tangga lagi menuju bagian fermentasi. Tapi, ia tak menemukan Ayah. Langkahnya cepat-cepat menuruni anak tangga menuju bagian pengeringan. Han terbatuk-batuk, serbuk-serbuk teh beterbangan tertiup angin.

“Ayahku dimana, pak?”

Seorang karyawan yang memakai masker menunjuk sebuah ruangan di bagian atas. Han segera menaiki beberapa anak tangga untuk sampai ke sana.

“Ayah! Ayo cepat Ayah, Abang Ran ketakutan!”

Ayah membalikan badannya. Secepat kilat Ayah menerobos pintu ke luar. Han mengikuti dari belakang.

Ayah membuka pintu rumah dengan terburu-buru. Langkahnya menyusuri ruang tamu, ruang keluarga, dan sampailah di tempat Ran tergeletak. Ayah segera menggendong Ran, memindahkannya ke atas ranjang. Selimut tebal di hamparkan di atas tubuh ringkih Ran.

Ayah mengusap kepala Ran, “Tenang, Ran. Tidak ada apa-apa.”

Jemari Ran menggenggam erat lengan Ayah. Getaran tubuhnya masih terasa. Perlahan, ia terlelap.

***

Han dan Ayah duduk berdampingan di bangku kayu. Keduanya menatap hamparan perkebunan teh. Di samping kiri, sebuah taman bunga melati menyebarkan bau harum. Di samping kanannya, sebuah pohon mangga yang tinggi meranggas ke atap rumah.

Rerumputan tampak hijau, diselingi bunga terompet kecil berwarna merah jambu. Kupu-kupu pun datang silih berganti menghampiri.

“Ayah, segeralah bercerita!” Han menggosok hidungnya.

Ayah tersenyum, kemudian merangkul Han.

“Ayolah, Ayah! Aku sudah siap mendengarkan.” Han menatap Ayah penuh harap.

Ayah menghela nafas, “Han, kalau nanti Abang sudah bangun, Ayah harap kau tidak mengingatkan kejadian ini padanya.”

“Aku berjanji, Ayah.”

“Ucapkan, insya Allah.”

“Ah, iya, insya Allah…” Han mengacungkan telunjukknya.

“Tadi, ada tetangga kita yang meninggal di rumah sakit. Jenazahnya di antar menggunakan mobil ambulans. Sejak kecil, Abang sangat takut mendengar suara mobil itu. Tadi Ayah pikir, kalian masih di sekolah. Jadi, Ayah tidak mempersiapkan apa-apa untuk mencegah Abang mendengarnya.”

“Kenapa Abang takut mendengar suara mobil ambulans?”

Ayah menghela nafas, “Sejak kau lahir, Abang sudah membenci suara itu.”

Han menunduk. Ayah makin kuat merangkul pundak Han.

“Dulu, jenazah ibu di antar menggunakan mobil ambulans. Semua histeris menyambut kedatangan Ayah dengan menggendong bayi yang sangat lucu. Jenazah ibu kemudian dimandikan dan dikafani. Dan setelah itu, ada kejadian yang…”

Ayah terdiam, menahan sesak.

Han semakin menunduk, dadanya berdebar.

“Saat itu, Abang menganggap ibu sedang tertidur. Ketika jenazah ibu terbaring  di tengah kerumunan orang, Abang mendekati jenazah ibu dan mencari-cari celah diantara kain kafan untuk menyusu. Anak manis itu kehausan.”

Ayah tertegun sejenak.

“Ketika jenazah ibu di bawa ke pemakanan, Abang dititipkan pada kerabat yang menunggu di rumah. Saat itu, Abang tidak tahu kemana orang-orang membawa ibu. Abang hanya tahu, ibu tidak pernah pulang setelah kedatangan mobil ambulans itu.”

“Jadi karena itu Abang Ran ketakutan?” Han mengusap air matanya.

Ayah mengangguk, “Dulu, namanya bukan Ranting.”

Han terperangah, “Benarkah?”

“Sebelum kau lahir, Abang bernama Bilal Amaru. Nama yang sangat indah. Diambil dari nama sahabat Nabi yang teguh dalam aqidah, Bilal bin Rabbah. Sahabat yang sangat ikhlas dan muadzin pertama dalam Islam.”

Han menelan air liurnya. Teringat perdebatan dengan Ran mengenai arti nama mereka. Ternyata Abang pernah memiliki nama yang indah.

“Apakah aku pun pernah memiliki nama kecil, Ayah?”

“Tidak, Han. Sejak lahir namamu Dahan. Sejak itulah, Bilal berganti nama menjadi Ranting.”

Han menghembuskan nafas pelan, “Darimana Ayah dapatkan nama itu?”

“Dulu, ketika Ayah duduk di sini, sama seperti hari ini. Saat itu, Ayah menggendong Ran yang sedang tertidur. Ayah melihat lekat-lekat pohon mangga itu. Tiba-tiba, Ayah terpikir untuk memberi nama kalian Dahan dan Ranting.”

Han menatap pohon mangga dengan sendu. Kalau dulu Ayah memandang pohon toge, mungkin namaku bukan Dahan.

“Han?”

“Iya Ayah?” Lamunan Han buyar.

“Berjanjilah pada Ayah, kau akan menjaga Abangmu. Seperti dahan itu.” Ayah menunjuk sebuah dahan besar yang kokoh menyangga ranting.

“Iya Ayah, aku berjanji.”

“Ucapkan insya Allah, Han.”

“Siap! insya Allah aku berjanji akan menjaga Abang Ran!”

Han mengepalkan tangannya.  Yeah! Ternyata, aku memang lebih kuat.

"Han..." Ayah menatap Han lekat-lekat.

Han menoleh, menatap mata Ayah.

"Setiap manusia memiliki air matanya masing-masing, Han. Segagah apapun ia, pasti ada ujian hidup yang mengguncangkan dirinya. Ayah harap, seorang Dahan tetap kokoh apapun yang akan terjadi ke depan."

Mata Han berkaca-kaca. Kepalanya mengangguk, "Iya Ayah..." lirih, hampir tak terdengar.

***

Rindu Tanpa LafazTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang