Sebuah Rahasia

1.2K 121 0
                                    

Seperti surat tanpa pesan. Kosong. Han mencoba membuka lagi lembaran demi lembaran buku tebal di tangannya. Ia tak menemukan apa-apa. Ia beranjak, mencari buku-buku lainnya. Matanya tajam mengitari buku-buku yang berjajar rapi.

“Kau sudah menemukannya, Bang?”

Ran takzim membaca buku tebal di pangkuannya, Muhammad Al-Amiin.
 
“Abang yakin akan menemukan arti nama kita dalam buku itu?”

Ran diam saja. Matanya fokus menatap untaian huruf dalam buku tebal itu.

“Baiklah, lanjutkan saja membaca!” Han melangkah dengan kesal.

Han terus berkeliling diantara buku-buku yang berjejalan di sudut-sudut toko. Sesekali ia menggaruk kepalanya. Matanya sudah kelelahan menyusuri rak-rak buku yang tinggi menjulang.

“Bu, dimana saya bisa menemukan arti dahan dan ranting?” Han menatap kasir penuh harap.

Seorang perempuan muda memberikan isyarat agar Han mengikutinya. Han bagai dicucuk hidung, mengekor di belakang perempuan berjilbab itu.

“Ini De, silakan dipilih saja bukunya.” Tersenyum dengan ramah.

Han terbelalak demi melihat tulisan yang menggantung di sana, BUKU-BUKU PERTANIAN. Ia terhempas di bangku kayu, memangnya mencari arti pohon mangga!

“Han, aku sudah tahu jawabannya. Ada dalam buku ini. Ayo kita pulang!” Ran sumringah.

Han terperanjat, bagai menemukan mata air di pandang pasir yang tandus. Han segera berdiri menyusul kakaknya yang melangkah ke meja kasir. Senyumnya merekah. Manis.

***

Dua pasang mata memandang buku yang tergeletak di meja. Detik berlalu, tak ada suara untuk sekedar berbicara.

Han memandang penuh tanya, sedangkan Ran mencoba menyiapkan kalimat untuk menjelaskan penemuannya.

“Kau yakin nama kita sudah ada sejak zaman Rasulullah, Bang?”

Ran mengambil buku tebal itu dan memindahkan ke ranjangnya. Han mengikuti gerakan kakaknya, lalu duduk di sampingnya.

“Aku menemukan rahasia penting dari sebuah nama dalam buku ini.” Ran mencoba tenang.

“Apa itu? Ayo ceritakan, Bang!” Han tak mampu membendung rasa penasarannya.

“Jauh sebelum Muhammad menjadi Rasulullah, beliau pernah diberi nama oleh masyarakat di Makah saat itu, namanya Al-Amiin.”

Han memandang lekat-lekat wajah kakaknya, bagai penonton sulap yang tengah menunggu-nunggu sesuatu keluar dari dalam kotak.

“Al-Amiin artinya yang terpercaya. Kau tahu Han, Muhammad adalah seorang pemuda yang sangat jujur. Semua masyarakat Makkah sangat menghormatinya, padahal beliau masih muda. Namanya sebagai Al-Amiin harum hingga ke negeri-negeri lainnya. Hingga beliau sukses menjadi pengusaha muda tingkat internasional di zamannya.”

“Waaa…”

“Ucapkan Masya Allah…Alhamdulillah, Han!”

“Ah, iya Masya Allah…Alhamdulillah…” Mata sipitnya berkedip-kedip.

“Coba lihat di halaman 257, di sini disebutkan bahwa nama yang indah diberikan kepada seseorang karena akhlaknya yang mulia. Kau tahu maksudnya, Han?”

Han cepat-cepat menggeleng.

“Seseorang akan dipanggil sesuai akhlaknya, Han. Seperti pemberian nama As-Shiddiq kepada Abu Bakar. Beliau diberi nama As-Shiddiq karena membenarkan Rasulullah, terutama saat peristiwa Isra Mi’raj. Kemudian pemberian nama Al-Faruq kepada Umar bin Khaththab. Al-Faruq artinya pembeda, karena Umar mampu membedakan yang benar dan salah, tanpa keraguan.”

“Kalau begitu, aku bisa dipanggil Han Al-Handsome?”

Ran tak menimpalinya, ia segera melanjutkan, “Setiap orangtua pasti memberikan nama terbaik untuk anak-anaknya, sebagai do’a setiap memanggilnya. Walaupun namanya seolah tak memiliki arti tapi orang akan mengartikannya sendiri dengan melihat akhlaknya.”

Han terdiam, kepalanya menunduk. “Jadi itu yang dimaksud Tomy dan kawan-kawannya? Setiap mereka menyebut namaku, mereka seolah sedang bertemu dengan dahan pohon yang berlumut dan tidak bisa berbicara. Sejak di taman kanak-kanak selalu begitu. Tapi, kalau mereka menyebut nama Abang, seolah sedang menceritakan ranting yang ditumbuhi daun yang lebat, berbunga dan berbuah ranum. Mereka tidak adil! Memangnya akhlakku jelek sekali?!”

Han menghempaskan kepalan tangannya ke sembarang arah, tepat beradu dengan kayu di ujung ranjangnya. Han meringis, menahan sakit.

***

“Kenapa, Han?”

Ayah mulai mencurigai gelagat Han yang berbeda pagi ini. Tidak biasanya ia terdiam di meja makan. Pisang bakarnya tak disentuh sedikitpun. Jemarinya sibuk menggaruk-garuk ujung meja.

Ran diam saja walau sebenarnya ia tahu apa yang sedang terjadi. Dengan tenang, ia mengoleskan selai coklat di atas pisang bakar. Hanya sesekali saja matanya melirik ke samping kiri, tempat Han termenung.

“Han?” Mata Ayah menatap Han yang tepat berada di sebrangnya.

“Iya, Ayah?” Pelan, hampir tak terdengar.

“Kenapa, Han?”

Han mengangkat kepalanya, kali ini matanya beradu dengan mata teduh Ayah. Ia menggosok-gosok hidungnya, menyiapkan amunisi. Seolah pembicaraan pagi itu akan menimbulkan huru-hara.

“Apakah Ayah malu memiliki anak sepertiku?”

Ayah tertegun sejenak, lalu tertawa.

“Dan…apakah Ayah bangga memiliki anak seperti Abang?”

Kali ini Ayah tersenyum, meletakkan koran paginya. Sejenak dipandangnya wajah menggemaskan Han.

“Ayah bangga memiliki anak seperti Han dan Ran.”

Han mengeser duduknya, “Tidak, Ayah. Katakan saja sebenarnya, apakah Ayah takut mengatakan yang sejujurnya? Aku tidak akan marah. Aku memang anak nakal. Semua orang mengenalku  begitu. Semua orang melihatku dan Abang sangat jauh berbeda. Akhlakku memang tidak sebagus Abang. Iya kan, Bang?”

Ran terperangah, pisang bakarnya hampir saja jatuh. Ia belum menyiapkan jawaban sama sekali.

“Setiap manusia memiliki karakter yang berbeda-beda, Han. Ayah dan saudara-saudara Ayah pun berbeda. Seperti Han dan Ran juga Allah lahirkan berbeda. Dan setiap manusia memiliki keistimewaan masing-masing, yang harus selalu disyukuri.”

Han mendengarkan dengan takzim. Ia memandang lekat-lekat wajah Ayah yang berseri-seri. Sesekali ia melirik Ran yang terdiam di bangkunya.

“Han tidak bisa memaksakan diri menjadi seperti Abang, begitu pun sebaliknya. Setiap manusia melaksanakan tugasnya di dunia dengan takdirnya masing-masing.”

“Tapi aku sangat berbeda dengan Abang, Ayah. Padahal kami adik-kakak.”

Ayah membenahi posisi duduknya, “Han, walau berbeda, kalian masih tetap bisa bersatu. Ingat, Allah tidak pernah menyatukan seseorang karena karakternya.”

“Iya, Han. Seperti dalam surat Al-Imran ayat 103, Allah menyatukan hati setiap hamba-Nya sehingga bersaudara.” Ran tersenyum ragu-ragu.

“Abang hafal ayatnya?” Han terbelalak.

Ran mengangguk.

“Nah, itulah Ayah, salah satu perbedaannya. Hafalan Al-Qur’anku tertinggal jauh darinya!” Jemari Han makin bersemangat menggaruk ujung meja.

***

Rindu Tanpa LafazTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang