Han telah bangun sejak dini hari. Membereskan tempat tidurnya kemudian berwudhu.
Cukup lama ia masih terdiam setelah solat malam. Tangannya terangkat, memohon penuh harap pada Allah.
Ya Allah, aku ingin berubah sekarang. Menjadi manusia yang lebih berguna. Menjadi anak yang menyayangi orangtuanya, gurunya, teman-temannya dan siapa saja di bumi ini.
"Han?" Ran menghampiri adiknya.
Han menoleh. "Abang Ran, aku rela kalau Abang akan pergi ke pesantren. Aku tidak akan marah sama Ayah dan Abang."
Ran tertegun. Sejenak menatap wajah sendu adiknya.
"Abang, kupikir sudah saatnya aku berubah. Aku selalu saja menyusahkan Ayah dan Abang. Aku selalu memaksakan kemauanku."
Ran masih saja terdiam. Mencoba mencerna kata-kata adiknya.
"Selama ini, aku marah sama Abang karena Abang lebih pintar dariku. Abang lebih terkenal di mana-mana. Nama Abang pun lebih keren."
Ran menunduk.
"Maka, aku mencoba mencari-cari celah agar aku bisa lebih hebat dari Abang. Aku ingin tahu arti nama kita, kurasa harusnya nama Dahan lebih hebat daripada Ranting."
Ran masih belum merespon. Ia hanya terdiam mendengarkan.
"Aku memaksa Ayah untuk menceritakan asal-usul nama kita. Ayah berusaha memberikan jawaban terbaik. Tapi, apapun jawaban Ayah sengaja aku salahkan. Karena tujuanku bukan mendapat jawaban tapi mendapat pengakuan."
Han menoleh, menatap wajah kakaknya. "Abang selalu unggul dimata siapapun, Tomy juga unggul di hadapan teman-temannya, sedangkan aku selalu saja tertinggal."
Han menghela napas. "Tapi, setelah kurenungkan, untuk apa aku mengejar impian orang. Seharusnya aku mengejar impianku sendiri. Dengan melihat kemampuanku, aku pun bisa sukses dengan caraku. Dengan begitu, hidupku lebih tenang dan fokus pada tujuan hidupku."
Ran mengusap pundak adiknya. "Alhamdulillah, kau anak yang baik Han. Abang bersyukur memiliki adik sepertimu."
Han menunduk."Aku pun seharusnya tidak memaksa Ayah untuk menikah dengan Bu Salima. Kupikir, keluarga kita tetap bisa tegak walau tanpa akar."
"Karena akar bukanlah seorang ibu." Ran tersenyum menatap adiknya.
Han terperangah. "Lalu apa, Bang?"
Ran mengeluarkan sebuah kertas dari dalam sakunya. Lalu menyerahkan pada adiknya. "Ini surat balasan dari Bu Salima."
Mata Han membulat."Bu Salima tahu kalau aku menulis surat untuknya?"
Ran mengangguk. "Abang yang mengambilnya dari tempat sampah kemudian menyalin suratmu. Lalu Abang kirimkan pada Bu Salima."
Mata Han berkaca-kaca. Kemudian segera membuka surat balasan dari Bu Salima.
Dear, Han.
Terima kasih mau membaca surat balasan dari Ibu. Setelah beberapa lama Han tidak mau ditemui siapapun. Akhirnya, Ibu menerima surat dari Han. Ibu sangat bahagia.
Han, beberapa hari lagi Ibu akan menikah, insya Allah. Dengan guru yang paling Han sayangi. Ibu berharap, Han turut bahagia mendengar kabar ini.
Han, ada hal penting yang ingin Ibu sampaikan. Setelah Ibu berdiskusi panjang, membaca literatur dari berbagai kitab dan buku-buku perjalanan Rasulullah, Ibu menemukan suatu kesimpulan yang mengejutkan, Han. Sungguh, ibu tak mampu membendung air mata ketika mengetahuinya.
Han, seorang muslim itu ibarat sebuah pohon. Akar adalah keimanannya, batang adalah syariat yang ditegakkannya dan buah adalah amalannya. Batang tidak mungkin tegak tanpa sebuah akar. Maka, benar, hanya orang-orang beriman yang akan melaksanakan aturan Allah.
Ibu membaca sebuah ayat AL-Qur’an dalam surat Ibrahim, “Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit.”
Han, kalimat yang baik adalah lailahailallah. Maka kalimat itu harus diucapkan dengan penuh keyakinan. Dengan janji yang teguh kepada Allah. Agar akar keimanan kuat mencengkram di hati.
Han, Ibu sarankan berdiskusilah dengan Ayah dan Ran. Ya, Ayahmu dan Ran pun sudah tahu konsep ini.
Salam rindu, muridku. See you…
Han menghela napas. Lalu menatap mata kakanya, menuntut penjelasan.
Ran tersenyum. "Jadi, Han marah sama Abang? Tadi bilangnya tak akan marah-marah lagi."
Han bangkit lalu bersiap mengejar kakaknya. "Harusnya Abang bilang dari awal kalau sudah tahu artinya!"
***
![](https://img.wattpad.com/cover/168110777-288-k380117.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Lafaz
ChickLitBila rindu, ingatan tentangmu begitu syahdu. Bila temu, hatiku tak akan mampu. Maka, aku tak tahu bagaimana melafadzkan rindu. Haruskah bulir-bulir air mata mengabarkannya padamu? ***