Seminggu telah berlalu, sejak jamuan makan malam itu. Tapi, Ayah tidak pernah memberikan jawaban.
Ayah menjadi lebih sibuk mengurus pabrik dan karyawan. Setiap malam, Han mengintip ruang kerja Ayah. Berharap, Ayah mau berbicara dengannya.
"Ayah, apakah aku menggangu?"
Han berdiri menatap punggung Ayah.
Ayah membalikan badannya, "Tentu tidak, Nak. Kemarilah anak Ayah."
Han melangkah ragu-ragu mendekati Ayah. Matanya berkedip-kedip, mencoba menghilangkan ketegangan.
"Ayah, ketahuilah selama ini Aku dan Abang menunggu jawaban. Tidakkah Ayah kasihan pada kami?" Suaranya hampir berbisik.
Ayah tertawa. Lalu mendekap kuat pundak Han.
"Han, akar adalah kekuatan hati ibu yang sampai kini tetap ada. Bukan sosoknya secara fisik."
Han menoleh, "Kekuatan hati?"
"Iya, perjanjian Ayah dan ibu tetap ada hingga kini."
Han menggosok hidungnya, "Perjanjian apa Ayah?"
"Ayah dan ibu berjanji untuk selalu bersama dalam keimanan."
"Jadi, akar itu sebenarnya perjanjian Ayah dan ibu?"
Ayah tersenyum, "Iya, Nak."
Han terpekur. Terbayang sosok Bu Salima yang bergerak menjauhinya.
Han menggeleng-geleng, "Benarkah Ayah?Jadi keluarga kita tidak butuh ibu pengganti?"
Ayah mengangguk.
"Baiklah Ayah. Tapi, aku harap Ayah akan berubah pikiran. Aku tetap butuh seorang ibu di rumah ini."
Han melangkah, "Selamat malam, Ayah."
Ayah tersenyum lalu melambaikan tangannya. Nafasnya berhembus dengan berat. Ayah mengerti, Han dan Ran membutuhkan kasih sayang seorang Ibu. Tapi, Ayah tak mampu memenuhinya untuk saat ini.
***
Langit menguning, senja hampir saja datang. Han sedang merapikan piring dan gelas yang baru dicucinya. Sesekali melirik kakaknya yang sedang mengiris bawang.
"Bang, aku tidak percaya lagi dengan teori Ayah!"
Han menyalakan kompor, lalu meletakkan panci di atasnya.
Ran menoleh, "Tapi, teori Ayah kali ini ada benarnya Han. Akar adalah perjanjian Ayah dan Ibu. Itulah alasan keluarga kita masih bertahan."
Han cepat-cepat menuangkan air ke dalam panci, "Aku tetap tidak percaya! Keluarga kita tetap membutuhkan sosok Ibu."
"Kasih sayang Ibu bisa didapat dari siapa saja, Han. Karena Ibu bukan sekedar nama, tapi peran yang melekat pada sosok perempuan."
"Aku tetap tidak percaya! Abang tahu, aku selalu membayangkan seorang Ibu menggandengku di atas panggung saat kenaikan kelas. Seperti teman-temanku. Tapi, selalu saja, aku digandeng ibu-ibu berkumis."
Ran menoleh sejenak. Ia menyadari kerinduan teramat dalam yang dirasakan adiknya. tidak terkecuali dirinya. Tapi, permintaan Han tak semudah menginginkan balon atau gulali.
***
Han memandang langit yang mulai menguning. Ia tidak tahu berapa lama lagi harus menengadah ke langit. Ia hanya tahu, Allah Maha Tinggi. Maka patutlah seorang hamba merasa rendah.
Sejenak lekat-lekat pandangan Han menyusuri pohon mangga, dari mulai akar hingga pucuk daun. Allah tidak mungkin menciptakan ini dengan sia-sia.
"Ya Allah, maafkan aku. Aku tidak mempercayai teori Ayah. Ayah selalu memiliki teori yang kadang benar dan kadang juga salah. Apakah aku harus mempercayainya?"
Han mendekap lututnya. Kerinduannya pada Ibu tiba-tiba menjalar di sekujur tubuhnya.
Kalau Ibu ada di sini, mungkin Ibu bisa menjelaskan semuanya padaku.
"Han?"
Han menoleh, "Ayah? Kenapa Ayah ada di sini?"
"Ayah hanya ingin menemanimu berdoa."
"Ayah tahu aku sedang berdoa?"
Ayah mengangguk.
"Ayah, bantulah aku..."
Ayah mengusap pundak Han, "Ayah bisa bantu apa, Nak?"
"Memohonlah pada Allah agar doa-doa ku dikabulkan. Karena doaku ini sangat penting, Ayah."
Ayah tersenyum, "Apa doamu, Nak?"
"Aku ingin memiliki Ibu yang bisa ku lihat. Ibu sungguhan."
Ayah memejamkan matanya. Dalam.
"Aku tahu, Ayah telah mengatakan teori baru. Tapi, aku pikir Ayah hanya ingin menghalangi harapanku itu. Kali ini, aku bertekad tidak akan mempercayai teori Ayah, sebelum aku dapat membuktikannya sendiri. Apakah itu sebuah kesalahan? "
Ayah menggeleng.
"Kalau begitu, biarkanlah aku menemukan makna akar itu, Ayah. Untuk saat ini, aku masih menyakini bahwa akar adalah sosok seorang Ibu. Aku harus memiliki Ibu. Pokoknya harus, Ayah. Bisakah Ayah mengabulkannya?"
"Allah lah yang dapat mengabulkannya, Nak."
"Benar Ayah, manusia hanya berencana, bukan? Jadi, ayolah Ayah rencanakan untuk memiliki istri lagi. Bisakah?"
Ayah bergeming.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Lafaz
ChickLitBila rindu, ingatan tentangmu begitu syahdu. Bila temu, hatiku tak akan mampu. Maka, aku tak tahu bagaimana melafadzkan rindu. Haruskah bulir-bulir air mata mengabarkannya padamu? ***