Keluarga Pohon

1.1K 102 4
                                    

Kilat menyambar-nyambar. Gemuruh alam menggema, membumbung di angkasa. Langit pecah, airnya tumpah menimpa atap-atap rumah, lalu jatuh membasahi daun-daun teh dan  melumatkan tanah perkebunan.

Ran masih mematung di depan pintu, menunggu Ayah. Matanya menatap jauh pada cerobong asap yang tak lagi memuntahkan isinya. Imajinasinya menangkap seorang bapak paruh baya yang sigap mengatur kondisi pabrik. Hilir mudik memantau karyawannya, dengan senyum tulus dan pancaran kasih sayang.

“Ran!”

Ran terperangah, lalu membalikkan badannya.

“Ayah?”

“Ayo, Nak, masuk.” Ayah merangkul pundak Ran.

Ran melangkah bersama Ayah. Kemudian mengunci pintu rumah dan masuk ke ruang tengah. Di sana, Han sedang fokus mengerjakan PR nya.

Ayah langsung menuju kamar mandi. Badannya basah kuyup.

Ran berkeliling, memastikan semua jendela dan pintu sudah di tutup rapat. Lalu melangkah ke dapur, menyiapkan teh hangat untuk Ayah.

“Siapa yang mau donat rasa madu?” Ayah berteriak dari dalam kamar.

Han dan Ran segera berhamburan memburu tas Ayah. Hampir setiap hari, Ayah selalu membawa kejutan. Kadang berupa minuman, makanan atau buku bacaan.

Biasanya, setalah mendapat makanan, mereka akan berkumpul di ruang tengah untuk saling bercerita.

“Malam ini, aku yang akan bercerita!” Han berteriak semangat.

Ayah mengangguk, lalu meneguk teh hangat buatan Ran.

Han menarik nafas pelan, “Ayah, apakah seorang Sarjana Pertanian wajib mencintai pohon?”

Ayah tertegun, lalu meletakkan cangkirnya. Pandangannya kemudian lekat-lekat memperhatikan wajah anak bungsunya.

“Siapapun harus mencintai pohon, Nak.” Ayah merangkul pundak Han.

Ran menggeser duduknya, mendekati Ayah. Ia tahu, akan ada perbincangan penting malam ini.

“Ayah, aku hanya ingin bercerita tentang teman-temanku. Mereka tidak begitu tertarik dengan pohon. Mungkin sama denganku. Tapi, aku tahu, Ayah sangat menyayangi pohon. Sampai…”

Kalimat Han terhenti, ia ragu untuk melanjutkannya. Tatapannya mencoba mencari-cari mata kakaknya, hendak meminta bantuan. Tapi, sejak tadi Ran tertunduk lesu.

Ayah menunggu. Ran pun menunggu. Tapi, Han masih belum berani melanjutkan kalimatnya. Abang Ran, ayo bantu aku!

“Eem…sampai Ayah menamaiku Dahan dan Abang, Ranting!” Han menunjuk Ran dengan ragu-ragu.

Ayah tertawa. Kemudian beranjak ke kamarnya. Ia mengambil selembar kertas besar dan sebuah pena.

“Itu untuk apa, Ayah?”
Han dan Ran mengerumuni kertas yang Ayah bentangkan.

Perlahan Ayah membuat garis melengkung di sisi kanan dan kiri. Kemudian garis-garis itu disambungkan dengan garis lain yang lebih kecil, disambungkan lagi dengan garis-garis yang melengkung.

“Gambar pohon!” Han berteriak.

“Benar!” Ayah tertawa.

Di setiap bagian pohon, Ayah memberikan nama. Pada akar, Ayah menulis ibu, pada batang ditulis Ayah. Kemudian pada bagian dahan ditulis Han, dan pada ranting ditulisnya Ran.

“Ini adalah gambaran sebuah keluarga yang utuh, kuat dan selalu bersama. Ibu yang menguatkan dari lubuk hatinya, kemudian Ayah sebagai batang yang menegakan, menyokong Han yang terikat kuat dengan Ran. Keluarga yang sempurna.” Ayah mengela nafas.

Han terdiam, hanya sesekali mengedipkan matanya. Tatapannya kabur, entah apa yang dilihatnya. Ia tak berani menatap wajah Ayah. 

“Ini adalah pesan ibu yang selalu Ayah ingat, Han dan Ran harus saling menguatkan. Seperti dahan dan ranting dalam sebuah pohon, tak bisa dipisahkan.”

Ayah menggenggam erat tangan Han dan Ran. Refleks mereka memeluk Ayah, seolah mengadukan rindu. Ibuuu.

***

Tiga belas tahun lalu, di malam yang dihiasi bintang-bintang, Ayah mengendong Ran yang baru berusia dua tahun. Ayah membawa Ran menuju rumah kerabat untuk dititipkan sementara. Ayah harus segera membawa ibu ke rumah sakit, sepertinya ibu akan melahirkan.

Ayah bersusah payah memapah ibu ke dalam mobil. Darah sudah membasahi pakaian Ibu. Ayah mencoba tenang dan terus menyemangati ibu agar tetap bersabar.

Kendaraan melaju dengan lambat, jalanan di perkebunan teh memang cukup terjal, masih dipenuhi bebatuan dan kerikil. Ayah terus berdo’a dan memohon ampunan agar persalinan ibu dimudahkan.

Butuh waktu setengah jam untuk sampai di rumah sakit terdekat. Ibu sudah terlihat lemah karena darah yang terus mengalir. Ibu segera dibaringkan pada kereta dorong dan di bawa ke dalam ruangan bersalin.

Ayah tidak diperkenankan masuk. Wajah Ayah memang menjadi pucat saat turun dari mobil dan meihat ibu sudah bersimbah darah. Ayah hanya bisa terduduk lesu di ruang tunggu. Bibirnya tak berhenti menghaturkan do’a pada Allah.

Butuh waktu sepuluh jam Ayah menunggu. Hingga terdengar jeritan bayi dari ruangan bersalin. Ayah segera menghambur ke depan pintu, berharap segera dipanggil namanya.

“Pak Fadli Amaru?”

Ayah segera berdiri. Ia pun masuk ke dalam ruangan. Seorang bayi mungil disodorkan padanya. Ayah segera mendekapnya dengan hangat, lalu membisikkan adzan pada telinganya.

“Pak Fadli, maaf, kami sudah berusaha, tapi Allah berkehendak lain.” Dokter menatap Ayah dengan sendu.

Jantung Ayah berdegup kencang. Perlahan, Ayah mendekati Ibu yang tengah terbaring. Wajahnya pucat, dingin dan kaku.

Tangis Ayah pecah. Bayi mungil pun menjerit, seolah mengerti apa yang sedang terjadi. Ayah segera mendekapnya, "Tenang sayang, ada Ayah. Bunda sudah istirahat di surga."

Dada Ayah semakin sesak, ketika teringat perkataan Ibu sebelum dibawa ke Rumah Sakit. Ibu menggenggam tangan Ayah, lalu berkata lirih, "Kanda, tetaplah melangkah dengan teguh apapun yang akan terjadi esok hari. Bersabarlah dalam setiap jengkal langkah Kanda. Ingatlah, kesabaran itu seperti obat dari pepohonan yang terkadang pahit saat ditelan, tetapi akibatnya lebih manis daripada madu. Maafkan aku Kanda, sekiranya perpisahan itu harus terjadi. Yakinlah, ini takdir terbaik dari-Nya. Semoga kita berkumpul lagi di surga, bersama anak-anak kita."

***

Rindu Tanpa LafazTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang