Hilang

758 79 5
                                    

Han memarkirkan sepedanya dengan buru-buru. Napasnya tersenggal. Ia segera masuk ke dalam kamarnya.

Ran mengikutinya dari belakang. Lalu duduk di samping adiknya. Sejenak tidak ada obrolan, hanya suara cicak yang terdengar cukup nyaring.

"Kau marah sama Abang?"

Han diam saja. Matanya menerawang entah kemana.

"Abang sudah pernah bilang. Tidak semua yang kita inginkan harus jadi kenyataan!"

Han memonyongkan mulutnya.

"Abang sengaja menyimpan rahasia ini agar kau tidak kecewa."

Han menoleh. "Tapi, seharusnya Abang bilang dari awal, kalau Bu Salima tidak mungkin menikah dengan Ayah!"

"Dengar, Han! Mana Abang tahu, kalau Bu Salima akan menikah dengan orang lain dalam waktu dekat."

Han mendengus kesal. "Bukannya Abang bisa tanya sama Kak Aurora?"

"Bahkan, Kak Aurora pun tak tahu! Baru tadi pagi, Bu Salima dilamar Pak Arman."

Mata Han terbelalak. "Pak Arman?"

Ran mengangguk pelan. Ia sudah menduga, Han akan sangat terkejut mendengarnya. Tapi, Han harus belajar menerima apa pun kenyataannya.

***

Ran meletakkan segelas teh hangat di meja Ayah. Ia menunggu Ayah merespon kehadirannya.

"Oh, Nak! Terima kasih anak Ayah." Ayah membalikkan badannya.

Ayah meneguk teh hangat dengan hati-hati. Sesekali menatap anak sulungnya yang terdiam sejak tadi.

"Ada apa, Nak?"

Ran menggeleng. "Di surga nanti, setiap keinginan kita pasti tercapai 'kan, Yah?"

Ayah mengangguk. "Insya Allah, Nak. Maka, kita harus terus berusaha agar bisa masuk surga."

Ran menunduk."Aku ingin melihat Han tersenyum bahagia di surga nanti. Kasihan, ia tak pernah melihat wajah ibu. Tidak pernah merasa dipeluk dan disayangi. Sehingga ketika harapannya untuk memiliki ibu kandas, ia sangat kecewa. Melebihi kekecewaannya saat di panggung perlombaan itu. Di surga nanti,Han akan bertemu Ibu dan bisa merasakan kebahagiaan."

"Nak ...." Ayah mengusap pundak Ran.

"Oh, maaf Ayah. Aku terlalu terbawa suasana."

"Ayah mengerti perasaan kalian. Maafkan Ayah."

Ayah memeluk Ran dengan hangat. Lalu mengantar anak sulungnya untuk tidur.

"Ayah, semester depan aku lulus, insya Allah. Apakah aku akan masuk pesantren?"

Ayah menghela napas. "Awalnya, rencana Ayah memang begitu. Tapi, melihat kondisi Han, Ayah harus berpikir ulang. Han bisa sangat kehilangan abangnya, 'kan?"

Ran mengangguk. "Aku akan mengikuti perintah Ayah. Aku yakin, keputusan Ayah yang terbaik untuk masa depanku."

Ayah tersenyum, lalu menatap Ran dengan bangga.

***

Jarum jam menunjuk angka 12. Han terbangun. Menatap sekeliling yang senyap. Sesekali menatap ranjang kakaknya. Ran telah tertidur lelap.

Han membuka selimutnya. Kakinya melangkah menuju meja belajar. Ia mengambil kertas dan pena dari rak bukunya.

Beberapa saat, ia masih termenung. Han mencoba berpikir. Entah apa yang harus ia lakukan.

Han mulai mencoret kertas di hadapannya. Kemudian terdiam lagi. Rupanya, ia terbangun karena bermimpi berpisah dengan Bu Salima. Bu Salima pergi ke tempat yang sangat jauh.

Rindu Tanpa LafazTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang