Han terdiam di depan pintu, ia sedikit ragu untuk masuk ke dalam kelas. Tomy dan teman-temannya menyeringai, menyambut Han dengan tatapan meremehkan.
"Wah, wah. Ada murid baru nih!" Tomy sengaja meninggikan suaranya.
Teman-teman sekelasnya menoleh ke arah pintu. Mereka terdiam, memandang Han dengan heran. Sejak perlombaan puisi, Han memang tidak tampak di sekolah.
"Assalamu'alaikum teman-teman. Oh iya, hai Tom, rindu ya sama orang terganteng di sekolah ini?"
Han mengedipkan sebelah matanya, lalu masuk dengan santai. Ia tidak peduli lagi dengan sikap Tomy. Kini ada misi besar yang harus ia capai, mencari sosok ibu.
Mata Tomy membulat sempurna. Beberapa teman sekelasnya berbisik-bisik, diselingi tawa kecil melihat ekspresi Tomy.
Tomy mengepalkan tangan kanannya, kali ini kau menang, Han. Tapi lihat saja besok!
***
Siang ini langit sangat cerah. Sama seperti hari-hari kemarin. Suhu panas memang sedang setia menyelimuti Kota Bandung beberapa pekan ini.
Beberapa siswa tampak mengantri panjang di depan kasir. Sejak bel istirahat berbunyi, mereka menyerbu kantin sekolah untuk memesan minuman dingin.
Berbeda dengan Han, ia justru sibuk mencari sosok kakaknya. Tubuhnya mengendap-endap di depan pintu kelas Ran.
"Abang Ran!"
Han berbisik ketika membuka sedikit pintu kelas. Di dalamnya hanya ada Ran dan beberapa temannya, sepertinya sedang kerja kelompok.
Ran menoleh, lalu menghampiri adiknya, "Ada apa, Han?"
"Abang tidak pergi ke kantin?" Suaranya masih berbisik.
"Oh, Abang masih ngajarin teman-teman hafalan Al-Qur'an dulu. Semester depan ujian praktek agama, harus hafal lima juz."
Han mengangguk-angguk, "Oh iya, Abang sudah menemui Bu Salima?"
Ran menggeleng.
"Ayolah, Bang. Temui Bu Salima, tanyakanlah apakah beliau mau menikah dengan Ayah?" Suaranya semakin lirih. Sesekali matanya memperhatikan sekitar.
Ran menghela nafas, "Rencananya, Abang mau minta bantuan Kak Aurora, karena ternyata rumah Bu Salima berdekatan dengan rumah Kak Aurora. Mereka sering ngobrol dan jalan-jalan bareng."
Han terkejut, "Oh, Kak Aurora yang..."
Han ragu melanjutkan kalimatnya."Yang apa, Han?"
"Kak Aurora kan pernah ngirim salam buat Abang. Cuma aku lupa menyampaikan. Dulu waktu Abang sakit dan tidak masuk sekolah, Kak Aurora nitip salam. Berarti Kak Aurora suka sama Abang, kan?"
Ran terbatuk, lalu mengembangkan senyumnya. "Tidak selalu begitu maknanya, Han. Kami teman sekelas, wajar saja Kak Aurora nitip salam. Semua teman sekelas juga nitip salam kok. Lagian Abang kenal baik dengan pribadinya yang bisa menjaga diri."
Han terkekeh, "Cieee...."
Ran menggeleng, "Han...Han...seusiamu di zaman Nabi sudah bersiap ke medan perang, meneriakkan takbir. Zaman sekarang, cuma bisanya cie cie!"
Han memegang dadanya, bagai ada sembilu yang menancap di ulu hatinya, "Ampun paduka!"
"Sudahlah, kau tinggal berdoa saja, Han. Semoga Kak Aurora bersedia mencari informasi tentang Bu Salima. Paling tidak, kita tahu apakah Bu Salima sudah punya calon suami atau tidak."
Han mengangguk-angguk, lalu pamit dengan segera.
***
Ran menyandarkan badannya di sofa. Baru saja ia tiba di rumah. Ran merogoh ponselnya dari dalam tas. Lalu mencari kontak seseorang.
[Assalamu'alaikum Aurora.]
Beberapa menit kemudian ada balasan.
[Wa'alaikumsalam, Ran. Ada apa?]
Ran ragu mengetik kembali pesannya. Ia terdiam sejenak, memilih kata-kata yang pantas.
[Aurora, maaf sebelumnya. Boleh minta bantuan?]
Beberapa menit berlalu tidak ada balasan. Ran masih menunggu, menatap layar ponselnya.
[Apa yang bisa aku bantu, Ran? Tumben gak bilang langsung tadi di kelas?]
Ran menghela nafas. Lalu melanjutkan mengetik.
[Soalnya, ini agak rahasia. Aku berharap Aur bisa membantu.]
Aurora terdiam. Baru saja, ia akan melepas jilbabnya di depan cermin. Tapi, ia urungkan, lalu terbaring di atas ranjangnya.
Hatinya mulai bertanya-tanya. Bantuan apa yang diharapkan oleh Ran. Tidak biasanya Ran berbagi rahasia padanya.
[Kalau aku bisa, insya Allah aku bantu, Ran]
Ran tersenyum membaca pesan dari Aurora. Ia yakin temannya ini bisa membantu misinya.
[Aur, maaf mungkin ini sedikit aneh. Aku ingin tahu apakah Bu Salima sudah memiliki calon suami atau belum. Aku berharap Aur bisa membantu mencari infonya. Karena aku lihat Aur sangat dekat dengan Bu Salima.]
Aurora terbelalak. Beberapa kali ia membaca pesan dari Ran. Jantungnya berdegup. Apakah Ran ingin menikahi Bu Salima?
[Ini serius, Ran? Eh, maksudku, kenapa kamu ingin tahu tentang hal itu?]
Ran kembali terdiam. Mencoba mencari kata-kata yang tepat. Untuk beberapa saat ia membiarkan ponselnya tergeletak.
[Ran, kamu mau nikah setelah lulus sekolah?]
Mata Ran membulat. Ia segera mengetik di layar ponselnya.
[Oh, tidak Aur. Aku hanya ingin tahu saja. Kalau Bu Salima belum memiliki calon suami, mungkin bisa kita mencarikan calonnya. Aku pikir Bu Salima sudah cocok untuk menikah. Beliau guru yang baik jadi harus menikah dengan orang yang baik.]
Aurora menghela nafas lega. Ia berpikir sejenak, benar juga yang dikatakan Ran, Bu Salima sudah cocok untuk menikah.
[Oke. Jadi aku harus mencari info Bu Salima sudah punya calon atau belum ya? Itu saja?]
Ran mengelus dadanya. Bersyukur Aurora tidak menyelidiki lebih jauh.
[Iya itu saja, Aur. Terima kasih banyak ya.]
Auora menatap sejenak layar ponselnya. Lalu termenung. Memikirkan cara mencari informasi itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Lafaz
ChickLitBila rindu, ingatan tentangmu begitu syahdu. Bila temu, hatiku tak akan mampu. Maka, aku tak tahu bagaimana melafadzkan rindu. Haruskah bulir-bulir air mata mengabarkannya padamu? ***