Ambisi

874 83 0
                                    

Sakina menggunting kertas warna-warni menjadi beberapa bagian. Ia menempelkannya pada majalah dinding yang berdiri tegak di lorong sekolah. Kakinya berjinjit, mencoba menggapai papan paling atas.

"Perlu ku bantu?" Han tersenyum.

Sakina menatap sinis, "Aku bisa melakukannya sendiri!"

"Kau cukup mengatakan tidak, tak perlu marah!" Han menggerutu.

"Aku memang marah! Untuk apa laki-laki menemui perempuan yang sedang sendirian. Itu tidak sopan!"

Han menggosok-gosok hidungnya, "Maaf."

Sakina tak berminat menimpali. Ia sibuk menempelkan beberapa lembar kertas.

Han masih mematung di sana. Matanya lekat-lekat memandangi selembar kertas yang baru saja ditempelkan.

Sakina menoleh, "Kenapa lihat-lihat?"

Han terkejut, "Boleh aku membaca pengumuman itu, Sakina?"

Sakina tertegun. Sejenak ia memeriksa kertas yang baru saja ditempelnya. Matanya membulat, pengumuman pemenang lomba menulis puisi tahap pertama.

Sakina mengangguk, lalu mundur teratur.

Han mendekati kertas yang terpampang di sana. Tangannya gemetar menunjuk sebuah nama yang tertulis, selamat kepada Dahan dan Mahdi.

***

Ayah sedang menikmati teh hangat sore ini. Sebuah bangku di bawah pohon mangga adalah kenangannya, kerinduannya, saksi cintanya dengan ibu.

Belasan tahun lalu, di bangku itulah Ayah dan ibu terbiasa menikmati secangkir teh hangat bersama.

Perbincangan penuh makna selalu melantun dari suara ibu yang lembut. Tatapannya penuh kasih.

"Apakah Kanda sedang merindukan seorang anak?"

Ayah menoleh, tersenyum. "Tentu saja, beberapa bulan lagi anak kita akan lahir, insya Allah."

"Apakah kanda yakin kalau anak adalah titipan dari Allah?"

Ayah mengangguk.

"Masih yakinkah kanda kalau ternyata Allah menjemputnya sebelum ia dewasa?"

Ayah tertegun, "Sebaiknya tidak mengucapkan itu, Dinda."

"Manusia seringkali kecewa dengan apa yang telah diyakininya. Ia kecewa karena tidak sesuai dengan keinginannya. Anak itu ujian, Kanda. Ujian keimanan. Masih yakinkah kita bahwa ia hanya titipan. Bukan milik kita."

Angin semilir mengusap lembut rambut Ayah. Bunga-bunga melati menyampaikan bau harum, menyusuri sudut-sudut taman.

"Benar, Dinda."

"Kanda, bersediakah menolongku?"

"Ada apa, Dinda?"

"Izinkanlah aku menjadi Ummu Sulaim di zaman ini. Keimanannya tetap teguh, walau anak menjadi ujiannya. Bukankah anak adalah ujian terberat bagi seorang ibu?"

"Bagaimana caranya kanda bisa membantu?"

"Jadilah seperti Abu Thalhah, suami Ummu Sulaim. Ia mengorbankan segalanya untuk membantu Rasulullah berjuang."

Ayah menatap wajah ibu yang tenang, "Kanda tidak paham maksudnya, Dinda."

"Apapun yang terjadi, Kanda harus tetap teguh menjalankan ajaran Rasulullah, walau kebanyakan orang telah menjauhinya. Dan, Kanda harus memastikan anak-anak kita menjadi bagian yang mengikuti Rasulullah."

Ayah menunduk.

"Bersediakan kanda berjanji untuk itu?"

Ayah semakin menunduk. Bening hangat di ujung matanya membuatnya semakin pilu. Hingga kini, kenangan itu selalu membekas dalam hati Ayah.

"Ayah?" Serempak Han dan Ran.

Ayah mengangkat wajahnya, "Wah, anak-anak Ayah sudah pulang. Ayo kita minum teh hangat bersama, Nak!"

Han dan Ran bertatapan.

"Ayah pasti sedang mengingat Ibu. Ayah jangan bersedih lagi, ada kabar bahagia hari ini!" Han merangkul pundak Ayah.

Ayah tersenyum sambil mengusap ujung matanya. Mencoba menghilangkan jejak kesedihan.

"Han juara lomba puisi tahap pertama, Ayah!" Ran tersenyum.

"Alhamdulillah. Selamat ya anak-anak soleh."

Ayah mendekap Han dan Ran dalam pelukannya. Dinda, Kanda berjanji akan menjaga mereka tetap dalam ajaran Rasulullah, insya Allah.

***

Di depan cermin. Han menatap matanya sendiri. Ia menggerak-gerakkan tangan kanannya. Tangan kirinya sibuk memegangi selembar kertas.

Ran tengah melatihnya membaca puisi. Han harus mengekpresikan puisi yang telah dibuatnya sebagai seleksi akhir perlombaan.

"Han, ingat! Petanyaan dari dewan juri harus kau jawab sebaik mungkin. Nilai terbesar ada pada tahap itu."

"Tenang, Abang Ran! Aku sangat menguasai teori pohon dari Ayah. Aku yakin semua orang akan tercengang mendengar arti namaku. Hahaha."

Ran menghela nafas, "Dan...ingat! Menang atau kalah bukan urusanmu. Tugasmu hanya berusaha melakukan yang terbaik. Hasilnya serahkan pada Allah."

Han menghentikkan gerakannya. Lalu memandang lekat bayangan kakaknya dalam cermin. "Tenang, tuan! Jangan khawatir begitu, Hahaha. Aku akan buktikan pada Ayah kalau aku bisa membanggakannya, biar Ayah gak sedih lagi. Hahaha."

"Aku hanya takut kau kecewa." Lirih, hampir tak terdengar.

Han menoleh, matanya menerawang. Sosok kakaknya sudah beranjak dari tempat itu.

***

Ran termenung. Barangkali tidak berlebihan ketika ia begitu mengkhawatirkan adiknya. Lantaran ambisi seringkali membutakan nurani.

Kejernihan merasakan akan samar diterpa badai keinginan. Betapa meringisnya hati yang dijejali banyak harapan semu. Harapan akan urusan dunia, pengakuan, keangkuhan, pujian, dan angan-angan.

Bagai anai-anai beterbangan, mungkin memang begitu seandainya hati yang bersih dapat memandang. Semua yang ada di dunia ini bukanlah benda sungguhan. Lihatlah, rasakan, dan akan melihat semua itu menghilang.

Seperti memasuki sebuah labirin yang tak memiliki ujung. Semua orang sibuk mencari satu pintu yang dinamakan ketenangan. Tenang bukan senang, karena orang yang merasa senang pun belum tentu tenang hidupnya. Sedang ketenangan selalu dirindukan kapan pun. Bahkan dalam hening.

Ran menekur. Nuraninya meraba, mencoba menimbang sesuatu hal yang amat ia khawatirkan. Kekecewaan. Seolah racun mematikan yang sekali minum akan terkapar. Mungkin pula, seperti pohon tegak yang tiba-tiba roboh karena ditebang rasa kecewa. Itu bisa saja terjadi.

Satu hal, rasa kecewa adalah jelmaan dari sesuatu yang disembah manusia. Apabila manusia saling menyembah, berat sudah rasa kecewanya. Mereka saling bergantung pada makhluk tak berpunya.

Maka, benarlah Bilal Bin Rabah, tak sudi bergantung pada tuannya. Itulah sebab ia tetap merasa merdeka walau dalam perbudakan. Ia yakin, Allah tidak pernah membuatnya kecewa. Lalu untuk apa ia resah.

Ran menghembuskan nafas. Semoga Han bisa menerima dengan lapang dada, apapun hasil perlombaannya.

***

Rindu Tanpa LafazTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang