Selembar Kertas Biru

1K 121 6
                                    

Han menyalakan kompor. Sebuah penggorengan kecil di letakkan di atasnya. Tangannya cepat-cepat menuangkan minyak goreng. Bunyi letupan minyak panas membuatnya terkejut. Sebutir telur dipecahkan, menimpa minyak panas yang segera menyambarnya. Berasap.

“Ah, gosong!” Han membalikkan telurnya.

Han berjinjit menggapai sebuah piring di atas lemari. Tubuh gempalnya kesulitan meraih ujung piring. Beberapa kali ia menggosok-gosok hidungnya, mencoba mencari jalan keluar. 

“Tumben sekali Han, pagi-pagi sudah sibuk di dapur…”

Han menelan air liurnya, tersedak. “Kenapa Abang ada di sini? Bukannya tadi sedang membaca?”

“Iya, Alhamdulillah sudah selesai.” Ran tersenyum.

Ran memicingkan matanya, menatap hati-hati ke dalam penggorengan, “wah, warnanya hitam, mengkilap begitu, Han.”

“Iya, Bang. Ini namanya telur mata kerbau. Abang lihat saja kerbau, lebih hitam daripada sapi, kan?”

Ran tersenyum.

“Ayo sana mandi, Bang! Setelah itu, makanlah telur mata kerbau ini. Spesial dari Chef  Han. Hahaha…”

Ran mengangguk-angguk lalu membalikan badannya menjauh dari dapur.

Han menatap punggung kakaknya, nanar. Maaf, Abang Ran. Sebenarnya telur ini memang gagal. Tapi, aku sengaja membuatkan sarapan untukmu. Aku sudah berjanji pada Ayah untuk menjagamu. Janji laki-laki sejati harus ditepati.

***

Ran melangkah pelan di lorong sekolah. Suara langkah kakinya berirama. Kadang ia tertegun. Sekedar memastikan bahwa ia sedang berjalan seorang diri.

Ran mempercepat langkahnya. Tiba-tiba ketukan sepatu di belakangnya pun berjalan semakin cepat. Ia kembali terdiam. Kemudian menengok ke belakang. Tidak ada siapa-siapa.

Ran membelokkan langkahnya menuju Mushola Al-Ikhlas. Mushola yang nyaman sebagai tempat merenungi ayat-ayat yang dihafalnya. Ia menuju tempat wudhu. Lalu masuk ke bagian tengah mushola.

“Kak Ran?” Suara di balik kain hijab.

Ran menoleh ke sebelah kanan, ia tak dapat melihat siapapun di balik kain itu. Ia hanya tahu, suara itu milik seorang perempuan.

“Nama saya Sakina.”

Ran masih terdiam.

“Saya temannya Dahan.”

Ran tersenyum lega. Paling tidak, perempuan di sebrang kain itu bukanlah sosok misterius.

“Tadi Dahan memegang ujung kerudung saya.”

Ran terperangah.

“Saya gak suka! Saya ingin berteriak dan memukulnya. Tapi, saya tidak berani.” Sakina Terisak.

“Dimana Han sekarang?”

“Dia ada di kantin, Kak.”

Ran mengembuskan nafas pelan, "Baiklah Sakina, nanti kakak akan mengingatkannya, insya Allah."

"Terima kasih, Kak." Sakina melangkah menjauh, menuju pintu mushola.

***

Han memarkirkan sepedanya di samping sepeda kakaknya. Cepat-cepat ia menuju halaman depan.

Ternyata Ran sudah berdiri di sana.
Han memicingkan matanya. Ia belum pernah melihat kakaknya seperti itu sebelumnya. Biasanya sepulang sekolah, Ran segera masuk ke kamarnya dan sibuk dengan ayat-ayat Al-Qur’an.

Rindu Tanpa LafazTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang