Sudah dua hari, Han tidak berkenan keluar dari kamarnya. Ayah tidak berhasil membujuknya untuk berdamai.
Kekecewaan telah merenggut senyum bahagianya. Han semakin membenci namanya. Ia kecewa dengan teori pohon Ayahnya. Ia benci sekolahnya, teman-temannya dan semua hal yang mengingatkannya pada kejadian siang itu di panggung perlombaan.
Han terlentang di kasurnya. Hanya berteman seekor cicak di langit-langit kamarnya.
“Aduhai cicak, kalau saja aku sepertimu. Perkerjaanku hanya menangkap nyamuk.”
Han terisak. Ia menarik selimutnya, membungkus setengah badannya dengan kain lembut itu. Ia menggigil. Suhu tubuhnya naik dalam dua hari ini.
“Han?Ini ada Sandy datang menjenguk.” Ran mengetuk pintu.
“Bilang pada Sandy, aku tidak mau dijenguk. Aku bukan orang sakit!”
Ran dan Sandy saling bertatapan. Tersenyum.
***
Tidak ada cara lain agar Han membuka pintu kamarnya. Ayah mengundang seorang dokter hari ini.
Ran membantu menyiapkan makanan kesukaan Han. Kasihan, beberapa hari ini ia hanya memakan biskuit.
Dokter muda yang piawai membujuk anak-anak itu pun mulai beraksi. Segala macam cerita menyenangkan dibagikan pada Han dari balik pintu.
Tapi, Han sama sekali tidak menimpalinya.
Beberapa saat susana menjadi hening. Semua menunggu Han merespon dari dalam kamarnya.
“Lain kali saja dokter datang lagi. Hari ini aku tidak menerima tamu. Terima kasih atas kedatangannya.” Han menyembulkan kepala dari balik selimutnya.
Ayah menunduk, tangan kananya merangkul pundak Ran.
“Maafkan kami, dokter. Kami sangat berterima kasih atas segalanya.”
“Sama-sama Pak Fadli. Saya pamit, kabari saja kalau Han sudah siap saya temui.”
Ayah menyalami tangan Dokter Andreas.
“Pak Fadli, Han sedang mengalami psikosomatis. Faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi fisiknya.”
Ayah menatap dokter Andreas dengan serius, “Apa yang harus saya lakukan, dok?”
“Ajak ia bercerita,”
“Han tidak mau saya temui. Bahkan teman-temannya berdatangan, tapi dia tetap tidak mau keluar dari kamarnya.”
Dokter Andreas tersenyum, “Pertemukan dengan orang yang paling membuatnya nyaman untuk bercerita.”
Ayah mengangguk, walau tidak terbayang siapa orangnya. Dokter Andreas melambaikan tangan. Lalu memacu kendaraannya, meninggalkan perkebunan teh, meninggalkan Ayah di depan pintu.
“Ayah, besok kita undang Bu Salima.”
Ayah menatap Ran, “Siapa itu, Nak?”
“Guru baru yang baik hati.” Senyum Ran merekah.
***
Kabut menyelimuti perkebunan teh. Semburat cahaya dari timur mulai menerangi. Embun-embun menetes, menimpa bumi. Sejuk.
Sepasang langkah berayun menyusuri jalan setapak. Embun pada dedauan teh menyentuh jilbabnya. Jemarinya mengusap lembut jilbab panjangnya, mecoba melenyapkan air yang membasahi.
“Bu Salima?”
Ran berdiri di halaman rumahnya.“Ran? Di sini ternyata rumahmu.” Bu Salima tersenyum.
Tiba-tiba tubuh Ran bergetar. Entah mengapa. Barangkali, karena hari ini Bu Salima akan bertemu dengan Ayah.
Ran, bersikaplah biasa saja. Bu Salima datang untuk menjenguk Han, bukan bertemu Ayah.
Ran mencoba menenangkan hatinya.
Ia mempersilakan Bu Salima untuk masuk. Di ruang tamu, Ayah sudah menunggu.
Bu Salima dengan santun berbincang dengan Ayah. Ran tidak mampu berpaling, menatap keduanya. Ia ingin sekali melihat tatapan Ayah saat berbicara dengan Bu Salima.
Beberapa saat, Bu Salima sudah beranjak menuju kamar Han. Naluri keibuannya terpancar dari wajahnya yang teduh.
“Assalamu’alaikum, Han. Ini ibu, Nak. Bolehkah ibu masuk?”
Hening.
“Han?”
“Wa’alaikumsalam.”
“Ibu boleh masuk?”
“Boleh, Bu.” Suaranya gemetar.
Ayah menghela nafas lega, “Alhamdulillah.”
Ran tersenyum malu-malu merekam gelagat Ayah.
***
Han mengaduk semangkuk bubur yang masih mengepul. Baru saja, Bu Salima membuatkannya agar Han bersedia untuk makan.
Tidak perlu banyak kalimat yang keluar dari mulutnya. Han sedang malas untuk bercerita. Ia hanya butuh ditemani.
Ayah dan Ran mengintip dari celah pintu yang terbuka. Mereka tersenyum, dengan benak masing-masing.
Ayah mulai memperhatikan bagaimana sikap Bu Salima pada Han. Ayah berharap dapat menerapkan sikap seperti itu saat menangani anak bungsunya nanti.
Ran tersenyum bahagia. Imajinasinya membayangkan Bu Salima telah menjadi bagian dari keluarganya.
“Ran?”
Ran menoleh, “Iya, Ayah.”
“Kau bahagia melihatnya?”
“Iya, Ayah pun bahagia?”
Ayah tersenyum, “Tentu saja. Ayah bersyukur kalian ditemani guru-guru yang baik di sekolah.”
“Ayah menyukai guruku?” Ran menyelidik.
“Iya, semoga Allah membalas kebaikan setiap guru di dunia ini. Guru adalah manusia pembawa cahaya.”
Senyum Ran makin merekah. Ayah menyukai guruku, iya tadi Ayah mengatakannya sendiri.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Lafaz
ChickLitBila rindu, ingatan tentangmu begitu syahdu. Bila temu, hatiku tak akan mampu. Maka, aku tak tahu bagaimana melafadzkan rindu. Haruskah bulir-bulir air mata mengabarkannya padamu? ***