Han menatap langit yang mulai dihiasi bintang-bintang. Di atas atap, semua pemandangan bumi hampir terlihat.
Tubuhnya menggigil, berjibaku dengan suhu pegunungan teh yang hampir membeku.
Han mengepalkan tangannya, kenapa aku harus jadi pecundang di panggung perlombaan? Tomy pasti bahagia melihat nasibku sekarang!
“Han? Mau aku bawakan bantal ke sini, mungkin kau mau berkemah di sini?” Ran menghampiri.
Han tetap terdiam, menerawang.
“Kau tidak kedinginan?”
Tidak ada jawaban.
Ran semakin mendekat, “Aku memiliki satu rahasia.”
Han menoleh, “Abang akan menceritakannya padaku malam ini?”
Ran mengangguk.
Han cepat-cepat membenahi posisi duduknya. Kedua telapak tangannya bergesekan, mencoba mengahdirkan kehangatan.
“Apakah itu, Bang?” Han menyelidik.
“Kau selalu tak sabaran. Dengarlah, aku menemukan satu rahasia penting saat perlombaan tempo hari.”
Han menggosok hidungnya. Ia muak mendengar kata perlombaan.
“Pohon tidak mungkin hidup tanpa akar. Kalau akarnya mati, maka batang tidak mungkin tegak, dahan dan ranting tidak akan tumbuh. Sedangkan keluarga kita diibaratkan pohon. Menurutmu, apakah yang kurang?”
“Akar,”
“Benar. Kalau Ayah adalah batang, aku ranting, dan kau dahannya. Apa yang belum ada dalam keluarga kita?”
“Ibu sebagai akar,”
“Nah, sekarang apakah kau mengerti maksudku?”
Mata Han berkedip-kedip, “Kita harus mencari seorang ibu?”
“Menemukan pengganti Ibu, begitu tepatnya Han!”
Han menunduk, “Aku mengerti. Pulang sekolah sore itu, kita melihat Ayah bersedih karena teringat Ibu. Mungkin Ayah memang terlihat gagah, kuat dan pemberani. Tapi, Ayah tetap butuh akar agar tetap bisa tegak. Begitukah, Bang?”
Ran mengangguk. Sendu.
Han menghela nafas, “Aku tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya, Bang! Tapi, setelah membaca buku harianmu, terpikir juga olehku.”
Ran terkejut, “Apa? Kau membaca buku harianku?”
Han menggigit bibirnya. Kenapa aku mengatakannya.
“Ini kesalahanmu yang kesekian. Kau harus membiasakan izin setiap meminjam barang milik orang!”
“Maaf, Abang Ran! Saat itu, aku tidak sengaja membacanya. Mungkin memang takdirnya begitu. Jadilah kita membahasanya malam ini.” Han tersenyum ragu. Semoga Abang Ran tidak jadi marah.
“Sudahlah, ayo masuk! Sudah malam begini!” Ran beranjak pergi.
Han menoleh, ia memandang lekat-lekat punggung kakaknya. Abang sedang marah.
***
Pukul tiga dini hari. Han membuka matanya, ia terbangun. Langkah malasnya menghampiri ranjang kakaknya.
“Bangun, Bang! Ayo kita solat.” Han menguap berulang kali.
Ran bangun. Tangannya menengadah, menghaturkan do’a. Ia cepat-cepat menuju tempat wudhu.
“Abang, kau masih marah padaku?” Han mematung di depan keran air.
Ran tak menimpali, ia tengah khusyuk membasuh lengannya dengan air yang sejuk.
Cepat-cepat Ran ke ruang tengah. Di salah satu sudutnya, sebuah mushola kecil bernaung. Di sanalah, ia takzim membaca al-Quran lalu khusyuk sembahyang.
Han baru saja sampai di pintu mushola. Ia pun segera berdiri tegak menghadap kiblat. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menahan kantuk. Kali ini, harus bertaubat sungguh-sungguh.
Selesai solat, Ran mendekati adiknya.
“Han, aku tidak marah. Asalkan kau tidak mengulanginya lagi. Ingatlah untuk selalu meminta izin!”Han menoleh, “Iya, Bang. Insya Allah aku akan meminta izin mulai sekarang.”
“Han, aku masih ingin membicarakan tentang akar.”
“Itupun yang ingin ku tanyakan, kira-kira siapa yang akan menjadi akarnya, Bang?”
Ran menatap sinis, “Kau bilang sudah membaca buku harianku. Tentu kau sudah tahu siapa orangnya!”
Han terbatuk-batuk.
“Bagaimana menurutmu, Han?”
Han terdiam. Lidahnya kelu, tidak tahu harus berkata apa.
“Kau keberatan?”
“Bukan, aku hanya meragukan satu hal.”
“Apa itu?”
“Apakah Bu Salima mau sama Ayah? Beliau masih muda. Usianya barulah dua puluh tujuh tahun. Terpaut sepuluh tahun dengan Ayah. Walau sebenarnya Ayah memiliki wajah muda dan tampan.”
“Sudahlah, Han! Jangan terlalu dipikirkan. Sekarang, kita harus menyusun rencana agar Bu Salima menerima lamaran Ayah.”
“Tapi, Ayah belum melamarnya!”
“Kita yang akan melamarnya untuk Ayah.”
Han menggaruk telinganya, “Tapi…satu hal lagi yang meragukanku. Apakah Bu Salima belum memiliki calon suami?”
Ran terdiam. Tak mampu menjawabnya.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Lafaz
ChickLitBila rindu, ingatan tentangmu begitu syahdu. Bila temu, hatiku tak akan mampu. Maka, aku tak tahu bagaimana melafadzkan rindu. Haruskah bulir-bulir air mata mengabarkannya padamu? ***