Aurora baru saja melipat mukenanya, ketika ketukan pintu samar-sama terdengar. Badan tinggi rampingnya segera berdiri dan menggapai kerudung birunya, lalu menuju pintu kamar.
"Alhamdulillah, ibu sudah datang. Mari masuk, bu."
Bu Salima tersenyum, "Mau curhat apa nih?"
Aurora duduk perlahan di ranjangnya. Disusul Bu Salima yang tampak anggun dengan balutan jilbab merah jambunya. Tatapan matanya yang teduh menyelidik remaja di hadapannya.
"Ah, jadi malu. Maaf ya Bu, jadinya ibu harus ke rumah aku malam-malam begini."
Bu Salima mengangguk, "Tidak apa-apa, Aur. Lagian ibu yang minta ngobrolnya di rumah Aur saja. Di rumah ibu sedang banyak tamu soalnya."
Aurora tersenyum. Matanya mulai menerawang. Pikirannya sibuk menyusun kata-kata.
"Ibu, Aur boleh bertanya?" Aurora refleks menutup matanya. Lalu membukanya kembali dengan malu-malu.
Bu Salima mengangguk. Menatap penuh mata bening Aurora. Sesekali tersenyum melihat tingkah lucu muridnya itu.
"Ibu, aku kadang berpikir, kenapa orang dewasa harus menikah? Sekarang usiaku 15 tahun, apakah kalau sudah dewasa nanti aku juga harus menikah?"
Bu Salima menghela nafas cukup berat. Beberapa saat berlalu, ia hanya terdiam diselingi senyum khasnya. Sebagai seorang psikolog tentu ia paham maksud pertanyaan muridnya.
"Ibu paham, sebenarnya pertanyaan Aur bukan itu, kan? Ibu berterima kasih karena Aur bertanya soal ini."
Aurora menutup mulutnya. Ia tidak menyangka, strateginya akan terbongkar.
"Yah...ketahuan deh. Hehe. Maaf ya Bu." Aurora menunduk malu.
Bu Salima menggeleng, "Ibu justru senang Aur perhatian pada ibu. Selama ini guru-guru di sekolah pun menanyakan hal yang sama. Tapi, jawaban ibu tetap sama, Allah belum mengizinkan ibu menikah."
Aurora mengangguk-angguk. Ada rasa penyesalan yang tidak mampu ia sembunyikan. Harusnya aku tidak bertanya soal ini.
"Aur tahu mengapa jawaban ibu selalu begitu?"
Aurora cepat-cepat menggeleng.
"Karena saat ini ada yang harus ibu selesaikan lebih dulu. Sesuatu yang sangat penting dan mendesak. Aur mau tahu?"
Bagai terhipnotis, Aurora menganguk-angguk dengan segera.
"Ibu sedang membenahi hati, agar menerima dengan ikhlas segala ketentuan Allah. Menerima dengan bahagia pilihan Allah atas hidup ibu. Meyakinkan diri bahwa apa yang Allah karuniakan adalah yang terbaik. Konsep ini berlaku dalam segala hal. Termasuk nanti saat Aur diterima di SMA manapun atau bahkan melanjutkan di pesantren dan jauh dari orangtua. Harus menerima dengan ikhlas segala ketentuan-Nya."
Aurora mengusap pipi tirusnya. Tanpa terasa cairan bening sejak tadi berjatuhan dari sudut matanya.
"Kalau kita sudah ikhlas, kita akan menerima apapun yang Allah pilihkan."
Bu Salima terdiam sejenak, menghela nafas cukup dalam.
"Suatu kali, ibu pun pernah bertanya-tanya mengapa ibu belum menikah. Padahal ibu merasa segala upaya telah dilakukan. Hingga ibu tersadar, jawabannya ternyata sangat sederhana, karena Allah belum menghendaki ibu menikah. Tidak ada jawaban lain."
Aurora menatap mata indah Bu Salima. Tidak ada sedikit pun kesedihan di sana.
"Jadi untuk saat ini, ibu sedang fokus menggapai derajat hamba Allah yang ikhlas. Dalam melakukan apapun, ibu berusaha meniatkan karena Allah saja. Walau dalam prakteknya sangat sulit."
Aurora mengangguk, lalu menggeser duduknya mendekati Bu Salima. Refleks ia memeluk guru kesayangannya itu.
Suaranya lirih hampir berbisik, "Jadi, Ibu tidak akan menikah dalam waktu dekat, kan? Ibu tidak akan pergi jauh, kan?"
Bu Salima mengangguk, lalu mengusap punggung Aurora dengan lembut.
***
Angin pagi yang sejuk berhembus, menerbangkan daun-daun kering yang berjatuhan di depan Mushola. Bunga-bunga mawar yang berjajar di dalam pot, bergoyang menyebarkan bau harum.
Ran baru saja menunaikan solat Dhuha. Ia segera mengenakan sepatu, hendak kembali ke dalam kelas.
"Ran!"
Ran menoleh, "Aurora?"
Aurora mencoba mendekat tapi tetap menjaga jarak. Sesekali matanya mengintai orang-orang di sekitar. Setelah merasa aman, ia menyerahkan sebuah lipatan kertas.
Ran menerimanya dengan gemetar. Ia tidak sabar untuk segera membacanya. Niat awalnya ia urungkan, lalu pergi ke toilet.
Ran, aku telah bertanya langsung pada Bu Salima. Kabar baiknya, Bu Salima belum memiliki calon suami. Itu berarti Bu Salima tidak akan menikah dalam waktu dekat. Jadi jangan khawatir, Bu Salima tidak akan meninggalkan murid-muridnya.
Satu lagi, Bu Salima tidak perlu dicarikan calon suami. Katanya, ada hal penting yang sedang difokuskan selama ini. Haha, penasaran ya? Baiklah aku bocorkan saja, Bu Salima sedang berusaha ikhlas atas segala ketentuan Allah. Jadi mengapa beliau belum menikah? jawabannya simpel, karena Allah belum menghendaki. Begitu katanya.
Nah, sudah dulu ya Ran. Aku harap ini terakhir kali aku membantumu perihal itu. Sungguh, aku bingung membahas tentang pernikahan. Ku harap, kau bisa mengerti.
Ran melipat kembali kertasnya. Ia mengusap dadanya yang memanas sejak tadi. Bulir air mata pun jatuh berderai.
Aku semakin yakin, Bu Salima adalah calon terbaik untuk Ayah.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Lafaz
Chick-LitBila rindu, ingatan tentangmu begitu syahdu. Bila temu, hatiku tak akan mampu. Maka, aku tak tahu bagaimana melafadzkan rindu. Haruskah bulir-bulir air mata mengabarkannya padamu? ***