Sepasang mata, lekat-lekat menatap jendela. Seolah tiada daya, ia mematung memerhatikan apa yang akan terjadi. Di luar, hujan sedang turun dengan derasnya.
Matanya berkedip-kedip. Sesekali menatap kertas di tangan kirinya dan pena di tangan kanannya. Ia tidak cukup mengerti, untuk apa kedua benda itu.
“Ayolah, Han! Tulis sesuatu yang kau lihat pada jendela itu!” Ran berdiri di belakang adiknya.
“Pikiranku belum mampu mengelurkan satu huruf pun, Bang. Aku tidak mengerti!”
“Kau harus memaksa tanganmu untuk menulis! Tulis saja apa yang kau mau!” Ran menghembuskan nafas.
“Bagaiman ini, Bang? Sampai kapan aku harus berdiri di sini?”
“Sampai tulisan memenuhi kertasmu!”
Han menggosok-gosok hidungnya. Sebenarnya, ia ingin menyerah. Tapi, hadiah lomba itu seolah melambai-lambai. Aku harus membuktikan pada Tomy, arti namaku diakui banyak orang.
“Sudah menyerah, Han?”
“Tidak, aku tidak menyerah, Bang! Lihatlah, sudah terisi beberapa kata. Ini ajaib!”
Ran cepat-cepat memeriksa selembar kertas di tangan adiknya. Matanya membulat demi membaca tulisan Han, Apa yang harus aku tulis, Bang?
***
Han meraba-raba selembar daun kering di tangannya. Ia masih bingung harus menulis apa tentang daun itu.
“Sudah kau tuliskan, Han?”
Han menggeleng, mata sipitnya menyusuri hingga ke tulang-tulang daun.
“Pelan-pelanlah kau raba, kau rasakan bentuk permukaannya, kau cium baunya, lalu kau tuliskan!”
“Hah? Sungguh sulit dimengerti.” Han menggaruk-garuk telinganya.
Ran memerhatikan jam tangannya, beberapa menit lagi waktu istirahat akan segera usai. Tapi, belum satu huruf pun mengisi lembaran kertas milik Han.
Beberapa siswa yang melewati taman sekolah tampak kebingungan menatap kakak-beradik itu. Han tampak sibuk meraba-raba dedaunan yang berserakan di bawah pohon. Sesekali memonyongkan mulutnya. Terheran-heran. Sedang kakaknya, fokus menatap mushaf Al-Qur’an. Kadang kala menatap langit, mulutnya komat-kamit.
“Lihat, ada kak Ranting. Hebat, dimana-mana menghafalkan Al-Qur’an.” Ramon menepuk pundak Tomy.
Tomy menoleh, “Benar, sudah ganteng, soleh pula. Lihat itu adiknya, tidak ada kerjaan ngacak-ngacak daun. Hahaha…”
Sinyal di telinga Han bergerak-gerak. Tawa meremehkan itu telah lama dikenalnya. Tunggu saja, Tom. Sebentar lagi, kau tak bisa menghina namaku lagi!
***
“Kenapa, Bang? Kenapa harus seperti itu?”
Han mengikuti Ran ke ruang tengah, melangkah lagi ke dapur dan berhenti di ruang tamu. Selembar kertas dipakai mengipasi wajahnya.
“Setiap penulis harus menulis dengan hatinya, Han.”
“Bagaimana caranya? Bukankah menulis itu dengan tangan?”
Ran duduk, kemudian meneguk teh hangatnya.
“Ayolah jelaskan, Bang! Mengapa?”
“Menulis bukan hanya urusan tangan. Kenyataannya, orang yang tidak memiliki tangan tetap bisa menjadi penulis. Menulis pun bukan urusan kecerdasan. Kalau hanya itu patokannya, mungkin hanya para ilmuan yang berhak menulis. Menulis itu urusan hati, maka tidak pernah ada larangan menulis pada siapapun yang memilikinya. Dah hati adalah tempatnya rasa, maka kau harus menuliskan sesuatu yang dapat kau rasakan.”
“Seperti merasakan bagaimana bentuk daun?”
“Bukan hanya bentuk, kau dapat melihat warnanya dan mencium baunya. Lalu kau ceritakan pada tulisanmu."
“Ah, aku nyerah saja, Bang!” Han melempar kertasnya lalu duduk dengan kesal.
“Han, dengarlah, Zaid Bin Tsabit, seorang sahabat Rasulullah, pernah mendapat tugas berat menuliskan Al-Qur’an.”
Han termenung. Menerawang, membayangkan kota Makah. Hanya ada beberapa ekor unta di sana. Ia menggeleng-geleng.
“Zaid bin Tsabit pernah mengungkapkan, seandainya diminta memindahkan gunung itu lebih baik daripada membukukan Al-Qur’an. Kau tahu mengapa?”
“Karena itu firman Allah?”
“Benar. Dan Al-Qur’an telah mendarah daging dalam dirinya. Ia merasakan keberadaan Al-Qur’an dalam hatinya. Iman, itu kunci utamanya, Han! Bagaimana mungkin ia merasa ringan menuliskan sesuatu yang sangat menakjubkan. Sebuah cahaya kehidupan.”
“Wah…luar biasa! Tapi, kenapa aku merasa berat padahal bukan di suruh menulis Al-Qur’an?” Han menggaruk-garuk kepalanya.
Ran menoleh, “Itu namanya pemalas.”
Han terbatuk-batuk.
***
Han termenung. Goresan pena semakin memenuhi lembaran kertas di mejanya. Kali ini, ia mampu menuliskan puluhan kata di atas kertas. Tetesan air mata menampilkan bercak tak beraturan pada kertas putih itu.
Han takjub menatap kertasnya sudah terisi tulisan. Senyum manisnya mengembang. Benar, menulis itu tentang rasa.
“Han, sudah selesai tugas menulis hari ini?”
Ran membuka pintu kamar. Ia baru saja menyiapkan segelas teh hangat untuk Ayah.
Han terburu-buru mengusap pipinya. Ia berkedip-kedip sekedar menghilangkan sisa-sisa air mata.
Tangan kanannya terulur, tanpa berani menoleh.
“Wah, kertasnya sudah terisi tulisan sekarang.” Ran tersenyum bangga.
“Sebentar, Bang! Jangan dibaca dulu.” Han menghambur ke arah pintu.
Ran tersenyum, lalu duduk di ranjangnya,
Kepada Ibu...
Bagaimana kabar ibu?
Semoga tenang di surga sana
Menikmati hasil perjuangan ibu selama di dunia
Begitu yang biasa ku dengar dari AbangAbang memang telah dewasa, Bu
Sedang aku masihlah kanak-kanak,
Ah, maksudnya aku awet muda, BuBetul bu,
Kami amat berbeda,
Aku lebih tampan daripada AbangTapi, satu harapanku
Semoga kelak tempat kita sama,
Di Surga***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Lafaz
Romanzi rosa / ChickLitBila rindu, ingatan tentangmu begitu syahdu. Bila temu, hatiku tak akan mampu. Maka, aku tak tahu bagaimana melafadzkan rindu. Haruskah bulir-bulir air mata mengabarkannya padamu? ***