Pertemuan

701 77 0
                                    

Sepiring ayam panggang, jus jeruk dan buah-buahan terhidang di meja makan. Han termenung menatap hidangan yang begitu beragam.

Malam ini, Bu Salima akan datang memenuhi undangan dari Ayah. Sebagai ucapan terima kasih karena telah berhasil membujuk Han kembali ke sekolah.

"Bang, ternyata rencana kita berhasil. Ayah benar-benar mengundang Bu Salima. Aku senang sekali, Bang." Han terkekeh.

Ran tersenyum, lalu mengangguk pelan. Ia masih sibuk menata meja makan untuk tamu istimewa.

"Bang, nanti kursi Ayah dan Bu Salima berdekatan ya." Han mengeser beberapa kursi agar lebih rapat.

"Jangan, Han. Belum mahram. Nanti saja kalau Ayah dan Bu Salima sudah resmi menikah."

Han memonyongkan mulutnya, "Siap komandan!"

***

Han berdiri di depan pagar. Matanya waspada menatap ke kiri dan ke kanan. Beberapa kali ia memastikan suara langkah yang sedang mendekat.

Ternyata, para pegawai pabrik baru saja menyantap sepiring pisang goreng di warung kopi. Kini, waktunya mereka kembali mengolah daun-daun teh. Derap langkahnya bersahutan dengan bunyi lonceng dari dalam pabrik.

“Assalamu’alaikum, Han!”

Han terperangah. Sosok dihadapannya berpakaian serba putih. Mata beningnya diterpa cahaya lampu, memancar.

“Han, ini ibu.” Bu Salima mendekat.

"Eh, ibu...Ku kira..."

Han mengelus dadanya. Senyumnya mengembang. Dengan ramah, ia mempersilakan Bu Salima menuju tempat yang telah direncanakan.

Ran menyambut hangat kedatangan tamu istimewanya. Dipilihnya kursi terbaik, dielapnya, lalu mempersilakan Bu Salima untuk duduk.

Bu Salima tersenyum haru. Sejenak tertegun. Benaknya dipenuhi banyak tanda tanya. Ada acara apa ini ya?

“Bu, maaf, kami masih menunggu Ayah. Kata Ayah, sebentar lagi pulang.”

Bu Salima cepat-cepat mengangguk, menyembunyikan lamunannya yang menjadi buyar seketika.

Han dan Ran mulai gelisah. Ditatapnya jam dinding beberapa kali. Sayangnya, jarum jam tidak bisa merubah keadaan. Ayah belum juga datang.

"Abang telpon Ayah saja!” Han berbisik lirih.

Ran menoleh, lalu memberi isyarat agar Han mengikutinya.

“Abang akan menunggu Ayah di depan pintu, kau temani Bu Salima ya!”

Han menggeleng, “Aku saja yang menunggu Ayah, Bang! Aku malu.”

“Malu kenapa? Kita sudah sepakat, memang begitulah tugas masing-masing.”

“Aku tidak bisa menyembunyikan harapanku yang berlebihan. Nanti Bu Salima bisa mengetahuinya. Abang saja lah yang pandai berkata-kata.”

Ran tak menoleh lagi. Ia bersikukuh berdiri di depan pintu. Memandang cerobong asap di atap pabrik yang masih saja mengepul. Ayah pasti sedang sibuk.

Han membuang nafas kesal. Ia berjalan lambat menuju meja makan. Sejenak, ia kebingungan memulai kembali perbincangan dengan Bu Salima.

Han memalingkan ketegangannya dengan bercerita tentang tanaman, tentang Tomy dan kegagalannya  menulis puisi.

Bu Salima mendengarkan dengan antusias. Kadang mereka tertawa, tertegun, dan tertawa lagi.

“Bu Salima, maafkan saya datang terlambat.” Ayah tiba-tiba sudah berdiri di samping Han. Tak lama Ran menyusul setelah menutup pagar dan mengunci pintu.

Rindu Tanpa LafazTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang