Kukuruyuk. kokok pertama ayam jantan pagi ini. Han membuka matanya. Ia terbangun, menengadah, kedua lengannya terangkat, Alhamdulillah Ya Allah, Engkau telah menghidupkanku setelah mati. Ya Allah, biarkanlah aku jadi orang baik hari ini.
Han mengosok matanya yang masih dipenuhi lem alami. Ia berjalan sempoyongan menuju tempat wudhu. Tubuhnya gemetar diterpa hawa dingin yang baru kali ini diarasakannya.
Han mengenakkan kain sarungnya. Peci putihnya sedikit miring, bagai menara Pisa. Beberapa kali ia menguap. Lalu berjalan tertatih menuju ruang mushola.
Ran sudah duduk takzim di sana. Lantunan ayat suci membumbung di langit-langit mushola. Suara indah itu memantul pada dinding, jendela kaca, dan sebuah lemari buku. Menampilkan gelombang nada yang merdu untuk dinikmati dalam sendu.
“Abang, jam berapa sekarang?” Han masih mengucek matanya.
Ran menoleh, tertegun beberapa saat. “Hampir jam 4. Ayolah solat tahajud dulu, sebentar lagi adzan subuh.”
“Aku ngantuk sekali, Bang.” Tubuhnya masih sempoyongan, mencoba berdiri tegak menghadap kiblat.
Ran tersenyum, memandang lekat-lekat punggung adiknya. Semoga sabar dan istiqomah ya Han.
***
Semilir angin menerpa dedaunan di ujung jendela. Daun-daun mangga itu menyentuh permukaan kaca. Suaranya lirih, seperti tengah berbisik.
Han melangkah, menghadap Pak Arman, “Pak, saya sudah selesai. Masih ada waktu 1 jam lagi, saya boleh ke ruang Bu Salima?”
Pak Arman memicingkan matanya, “Ada jadwal konsultasi? Bapak lihat tadi ruang Bu Salima masih kosong. Mungkin belum datang.”“Iya, Pak. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan. Boleh, Pak?”
Pak Arman masih terdiam.
“Saya jamin Pak, ujian kali ini nilainya seratus lagi, insya Allah.” Han tersenyum.
Pak Arman menatap lekat lembar ujian Han. Lalu mengangguk-angguk.
***
Han terkesima memandang bening mata yang teduh di hadapannya. Benar, apa yang dikatakan Abang Ran.
“Han?”
“Ah, iya Bu. Maaf…”
Bu Salima tersenyum. Gerakannya yang tenang membuat jilbab panjangnya berayun pelan.
“Han, apa yang ingin diceritakan?”
Han menunduk, “Bu, apakah Allah menilai perubahan kecil?”
Bu Salima memandang mata sipit di hadapannya. Anak yang manis.
“Bu, saya sudah melakukan kesalahan besar. Saya menyesal.”
Bu Salima masih terdiam.
“Saya melakukan kesalahan itu karena membenci nama saya sendiri. Saya juga membenci teman-teman yang selalu menghina nama saya.”
Han menghembuskan nafas.
“Akhirnya saya menyadari, itu bukan hal penting. Saya harus berubah. Saya tidak boleh merugikan orang lain lagi karena membenci nama saya.”
Bu Salima menyodorkan selembar tisu. Han menerimanya dengan sendu. Ia mengusap air yang mengalir di ujung matanya.
“Hari ini, saya berniat mengadu pada Allah, memohon ampunan. Saya sudah mencoba bangun pagi-pagi sekali. Tapi, kantuk membuat saya hampir tertidur saat ruku dan sujud. Ternyata perubahan saya belum berarti, Bu.”
Bu Salima masih menunggu semua kalimat Han terhempas ke luar. Tapi, Han masih tersedu-sedu di balik selembar tisu.
“Alhamdulillah, Han sudah menyadari kesalahan dan mulai memperbaiki diri. Selamat atas keberaniannya ya!”
Han mendongak, “Apakah itu sebuah keberanian, Bu?”
“Iya, Han. Pemberani bukanlah orang yang tidak pernah merasa takut. Tapi, orang yang merasakan takut tapi tetap dalam kebenaran. Bukankah Han takut dihina tapi tetap ingin menemukan jalan yang benar?”
Han mengangguk.
“Yakinlah dengan usahamu untuk berubah, insya Allah akan ada hasilnya.”
“Perubahanku hanya seinci, Bu. Bahkan tak terlihat.”
“Allah menyukai kebaikan kecil tapi terus menerus dilakukan.”
“Benarkah, Bu?”
Bu Salima mengangguk. Tersenyum. Seolah menyalurkan tenaga dalam yang segera disambut Han. Aku pasti bisa, Yeah!
***
Han menunduk, memandang untaian ayat suci di lengannya. Bel istirahat berdentang tiga kali. Seluruh siswa berhamburan menuju kantin. Han tidak berkutik, tetap terdiam di tempatnya.
“Han, sudah bel istirahat, ayo perpustakaan akan ditutup sementara.” Bu Nirina merapikan buku-buku yang berserakan di atas meja.
“Bolehkah saya tetap di sini, Bu?” Tatapan matanya sendu.
Bu Nirina mengangguk, kemudian beranjak. Pintu perpustakaan ditutup perlahan.
Suasana sepi menyergap ruangan tua itu. Kayu-kayu penyangga buku terpahat di dinding. Rak-rak yang tinggi menjulang meranggas kaku. Seolah jiwa-jiwa yang beku.
Han menengadah, menatap sekeliling. Suara apa itu?
Han berdiri, dengan cepat langkahnya menyusuri sebuah sudut di bawah jendela. Tumpukan buku-buku tua memenuhi sudut sempit itu. Han terbatuk, debu-debu beterbangan tertiup angin yang tiba-tiba berhembus.
Han menoleh cepat saat setumpuk buku tua roboh dengan sendirinya. Ruangan tiba-tiba menjadi gelap.
Nafas Han mulai terengah. Keringat mulai menetes dari ujung dahinya.
Han segera berlari tunggang-langgang ke arah pintu. Langkahnya sempoyongan menahan berat tubuhnya. Tatapannya kabur, meraba-raba daun pintu.
Gagang pintu telah didapatkannya, tapi pintu tertutup rapat. Sekuat tenaga ia mendorong pintu kayu itu. Pintu tetap bergeming.
“Tolooong!”
Han memegangi dadanya. Nafasnya memburu. Ia tak mampu berpikir jernih. Dan akhirnya terkulai lemah.
Tiba-tiba pintu terbuka. Cahaya memancar, menerobos masuk ke sudut-sudut ruangan. Han terperangah. Cepat-cepat ia menoleh.
“Hahaha…Han, takut ya? Namanya Dahan sih!”
Tomy, Alva, dan Ramon berjajar di depan pintu, tangannya menyilang di dada. Hanya hitungan detik teman-temannya yang lain berdatangan dari berbagai arah. Berkerumun menatap Han yang bersimbah keringat, menggigil ketakutan.
Han mengepalkan jemarinya. Rahangnya menegang. Giginya gemertakan. Tenang, Han, jangan marah! Seinci perubahanmu jangan sampai ternodai.
“Ya, namaku Dahan. Benar, sekarang aku sedang ketakutan. Aku selalu yakin, pemberani itu bukanlah yang tidak pernah merasa takut. Tetapi, orang yang merasa takut tapi tetap dalam kebenaran!” Han mengepalkan tangannya.
Han berdiri, melangkah dengan tenang. Kerumunan teman-temannya terbelah, membuka jalan untuk Han.
Riuh, berbagai nada mengomentari tontonan langka siang itu.
Mata Tomy membulat, menatap kedua temannya. Kenapa dia tidak marah?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Lafaz
ChickLitBila rindu, ingatan tentangmu begitu syahdu. Bila temu, hatiku tak akan mampu. Maka, aku tak tahu bagaimana melafadzkan rindu. Haruskah bulir-bulir air mata mengabarkannya padamu? ***