Tanda Tanya

1.4K 117 2
                                    

Ran masih tertegun di lorong sekolah. Menatap sebuah daun pintu dari kejauhan. Batinnya bergemuruh. Sepanjang pekan kemarin, kepalanya dipenuhi banyak tanda tanya. Apakah setiap nama harus memiliki arti?

“Ran!” Aurora ragu-ragu melangkah.

Ran membalikan badan.

Senyum khasnya mengembang, “Ran, sudah menentukan nanti mau masuk SMA mana?”

Ran menggeleng.

“Atau…mungkin Ayahmu sudah menyiapkan pesantren untukmu?”

“Ah, aku tak tahu, Aur. Aku belum membicarakan masalah ini dengan Ayah.”

Aurora mengangguk-angguk.

“Kenapa, Aur?” Alis tebal Ran terangkat.

Aurora tertegun, menggeleng, kemudian beranjak pergi.

“Aur, tunggu!”

Langkah Aurora terhenti. Jantungnya memompa darah lebih cepat. Perlahan ia membalikan badannya, bersiap memekarkan senyum. Jilbabnya putihnya melambai, tertiup angin.

“Maaf, Aur! Aku boleh bertanya?”

“Apa, Ran?” Kalimatnya sedikit terbata.

“Arti nama kamu apa ya?”

Aurora tersenyum malu, “Aurora itu adalah fenomena alam yang menyerupai pancaran cahaya yang menyala-nyala. Kata Ayah, aku harus jadi perempuan bercahaya.”

Ran mengangguk-angguk.

“Memangnya kenapa Ran?”

“Ah, tidak apa-apa. Namamu memiliki arti yang indah. Ya sudah, aku duluan ya.”

Ran membalikan badannya. Langkahnya semakin menjauh. Sedangkan Aurora masih mematung, seperti tidak percaya dengan apa yang terjadi. Hanya itu pertanyaanmu, Ran?!

***

Angin dingin berhembus menerpa kulit. Bulu-bulu halus berdiri semaunya. Ran mengusap lengannya, mencoba menebarkan kehangatan.

Hujan turun dengan derasnya sore ini. Ran masih terdiam di lorong sekolah. Ia hendak menemui seseorang.

Ran melangkah, memberanikan diri mendekati sebuah pintu. Di sana tertulis, RUANG BIMBINGAN KONSELING. Jemarinya bergetar saat mencoba mengetuk pintu dan mengucapkan salam.

Pintu terbuka dengan perlahan. Seorang perempuan berjilbab menyambutnya dengan senyuman.

“Masuk, Ran! Duduklah di sana, sebentar ibu buatkan minuman.”

“Tidak usah, Bu. Saya jadi merepotkan.” Ran menunduk malu.

Bu Salima tetap beranjak, mengambil dua buah cangkir keramik. Dua sendok serbuk coklat dituang pada masing-masing cangkir. Air panas meletup-letup mengisi cangkir, hampir penuh.

“Silakan diminum dulu, Ran. Udara di luar sangat dingin.”

Ran mengangguk pelan.

“Ran, apa yang bisa ibu bantu?”

Ran menatap Bu Salima, “Bu, bolehkah saya bertanya?”

“Boleh, Ran. Bagaimana?”

Ran terdiam. Lidahnya tiba-tiba kelu.

“Ran?”

“Ah, maaf. Bu, apakah semua nama harus memiliki arti?”

Bu Salima tersenyum.

Ran menunduk, “Maaf, Bu. Sebenarnya, ini bukan hal penting. Bahkan terdengar aneh.”

Bu Salima membuka lacinya, kemudian mengeluarkan sebuah buku tebal yang dibalut kain perca.
“Ini buku harian ibu saat SMP, Ran. Ternyata ibu pun mulai mempertanyakan arti nama ibu. Bahkan, di sini tertulis kalau ibu ingin berganti nama.”

“Kenapa ibu ingin berganti nama? Bukankah nama ibu sangat bagus?”

Bu Salima meletakkan bukunya, lalu tersenyum, “Bukankah namamu pun bagus, Ran?”

Ran menjadi kikuk, “Tapi…nama asli saya Ranting, Bu. Seperti bagian dari pohon.”

“Ibu tahu, Ran. Ayahmu Pak Fadli Amaru dan adikmu Dahan, kan?”

Ran mengangguk, mencoba mengatur nafas. Lalu menunggu kalimat Bu Salima selanjutnya.

“Setiap orangtua pasti memberikan nama terbaik untuk anaknya, Ran. Karena nama adalah do’a, harapan, dan cita-cita.”

“Apakah ibu pernah mencari arti nama ibu?”

“Iya, Ran.”

“Apakah ibu sudah menemukan arti sesungguhnya?”

Bu Salima mengangguk, “Alhamdulillah,”

“Apakah aku pun bisa menemukannya, Bu?” Kalimat Ran bergetar.

“Ran, insya Allah kamu akan menemukan arti namamu.”

Tatapan menyejukkan Bu Salima seolah menembus hingga palung hati. Ran terkesima, terkenang ibunya yang selalu diceriatakan Ayah, ibumu amat lembut dan penyayang.

***

Han menarik selimut. Lengan kananya dibentangkan, meraba-raba tombol untuk mematikan lampu. Gelap. Perlahan, matanya terpejam. 

“Han!”

Han membuka matanya, menatap sekeliling. Suara siapa itu, bukankah Abang sudah tidur sejak tadi.

“Han! Aku belum tidur.”

“Ah, Abang! Mengagetkan saja!”

“Han, tadi aku menemui Bu Salima..."

Han meraba-raba tombol yang tadi, kembali menyalakan lampu.

“Han, kau pernah berbicara dengannya?”

Han menggosok hidungnya, “Belum. Bu Salima kan guru baru. Belum ada jadwal konsultasi buatku.”

“Kau harus menemuinya, Han…”

“Oh, karena Bu Salima sangat baik, kan? Teman-temanku juga menyukainya.”

“Bukan hanya itu, Han…”

“Oh, karena Bu Salima sangat lembut dan keibuan?”

“Bukan hanya itu. Bu Salima juga pernah mempertanyakan arti namanya.”

“Benarkah?” Mata Han membulat.

“Bu Salima yakin, kita akan menemukan arti nama kita, Han!”

Senyum Han merekah. Matanya menatap langit-langit. Han terkekeh, tampak olehnya kedua cicak berjingkrak-jingkrak riang.

***

Rindu Tanpa LafazTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang