Mahdi naik ke atas panggung. Sejenak ia merapikan pakaiannya, mengecek mikrofon, dan menggeser posisinya lebih ke tengah. Ia menatap ratusan penonton yang memadati ruang Aula Sekolah Insan Kamil. Seketika, ketegangan menghiasai wajahnya.
Para penonton bersorak, memberikan semangat. Mahdi tersenyum malu-malu. Beberapa saat ia masih terdiam. Entah menunggu apa. Barangkali memang menunggu keberanian.
Kaki kirinya melangkah pelan ke depan, kaki kanannya seolah berat untuk turut melangkah. Tangannya gemetaran memegang mikrofon.
"Tes..tes..tes"Tawa pun pecah di Aula kesenian itu. Mahdi makin pucat. Rambut klimisnya di usap beberapa kali.
Mahdi terbatuk-batuk, menyiapkan nada,
Segera Tiba
Lihatlah kawan, dunia sekeliling kita, penuh angkara murka
Keserakahan, kebencian, kemunafikan merajalelaSuara Mahdi gemetar. Ia menghela nafas pelan, mencoba mengatur kembali nada suaranya.
Tataplah di sana,
Kerusakan memenuhi bumi pertiwi
Anak muda lupa jati diri
Orang dewasa kehilangan wibawa
Para tetua semakin meranaMengerikan, membungkam tawa
Melambungkan tanda tanya,
Ada apa?Mahdi terdiam lagi. Ia beranikan menatap penonton yang terkesima dengan lantunan puisinya.
Barangkali sebentar lagi tiba,
Sosok perkasa lagi taqwa
Dialah Imam Mahdi,
Sang penunjuk jalan ilahiAgar manusia kembali pada fitrahnya,
Hidup sesuai titah-Nya,
Tiada lagi kesesatan,
Yang akan membinasakanMahdi bersimpuh. Terisak.
Semua penonton berdiri. Tepukan meriah memenuhi sudut-sudut ruangan persegi itu.
Han terdiam. Ia melihat sekeliling. Semua orang menampilkan wajah haru. Semua orang mengagumi Mahdi hari itu.
Ada getir ketakutan yang tiba-tiba merasuki pikiran Han. Aku tidak boleh kalah.
"Mahdi, artinya yang mendapat petunjuk, bagus sekali. Satu pertanyaan ibu, apakah di zaman ini masih ada orang-orang yang menunjukkan kepada kebenaran?" Bu Anti tersenyum.
Mahdi membisu. Sekujur tubuhnya kaku.
"Bagaimana, Mahdi?"
"Ada, Bu. Karena kebenaran tidak mungkin terputus hingga akhir zaman. Saya meyakini itu."
Semua bertepuk tangan.
"Baiklah. Silakan duduk kembali Mahdi."
Han mendekati kakaknya, "Abang, jawaban Mahdi salah kan?"
Ran diam saja.
"Bang, jawaban dia salah kan?"
Ran menoleh, "Sudahlah, Han. Ayo naik ke atas panggung!"
Han melangkah ragu-ragu. Beberapa kali ia mengelus-ngelus dadanya. Han kebingungan menatap penonton yang mulai riuh bertepuk tangan. Matanya tidak dapat berpaling dari Tomy yang menatap sinis, meremehkan.
Han mulai memegang mikrofon. Nafasnya tiba-tiba sesak. Hingga kalimat yang keluar pertama kali menjadi lebih melengking dari biasanya.
Penonton tertawa.
Han, mencoba mengatur nafas. Pandangannya mengitari penonton yang tengah menunggunya bersuara.
Pohon Tegak
Ayat-ayat cinta Ilahi telah mengabarkan,
Kalimat baik seumpama pohon yang baik,
akarnya kuat,
Cabangnya menjulang ke langitHan menghela nafas lagi. Desiran angin seperti menyayat hatinya.
Begitulah akar, layaknya seorang ibu,
Menguatkan
Tegaknya batang, seperti Ayah
Menopang dahan dan ranting
Dahan menyangga ranting
Ranting menahan buah
Berharmoni menjadi ikatan utuhRiuh tepuk tangan memenuhi podium. Han menunduk, sepertinya puisiku jelek sekali.
"Han, indah sekali arti namamu." Bu Anti menatap mata sipit Han.
Han terperangah. Satu kalimat pamungkas yang mengembalikan semangatnya. Perlahan dadanya dibusungkan. Matanya tajam menatap Tomy yang sedang murung. Dengar itu, Tom!
"Hanya satu pertanyaan ibu. Benarkah akar artinya ibu? Maaf, bukankah ibumu sudah meninggal, Han? Menurut teori biologi, pohon tidak mungkin bisa hidup tanpa akar. Kalau akarnya mati, maka batang tidak mungkin tegak, tidak mungkin tumbuh tunas, dahan, ranting, apalagi berbuah."
Seolah gada mengantam wajahnya, Han diam seketika. Perih. Tubuhnya tiba-tiba membeku. Suhu dingin menyergap kedua telapak lengannya, bahkan menuju ubun-ubun.
Tetesan keringat membanjiri kemeja coklatnya. Kakinya bergetar. Tatapannya kabur, entah arah mana yang harus ia tuju.
Ran menunduk di tempatnya. Tomy menyeringai bahagia. Semua penonton memasang wajah tegang. Mereka menunggu Han memberikan jawaban.
Tiba-tiba air hangat meluncur begitu saja di pipinya. Berulang kali. Han tidak berselera untuk sekedar mengusapnya. Entah apa yang ia pikirkan. Dia hanya tahu, pertanyaan itu sulit sekali dijawabnya.
"Han, maksud ibu, mengapa keluargamu masih bisa berdiri tegak layaknya pohon padahal tidak memiliki akar?" Bu Anti mulai terlihat cemas.
Han diam saja. Mungkin memang akan tetap begitu sampai kapan pun. Ia tidak pernah mengerti, mengapa harus mendengar pertanyaan itu.
***
Han mengayuh sepedanya dengan kencang. Amarahnya masih saja membuncah. Ia kesal pada dirinya yang menjadi pengecut di panggung perlombaan tadi.
Ran megejarnya. Ia tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun tentang hari ini. Tidak juga kalimat nasihat yang biasanya cepat sekali keluar di saat yang tepat.
"Kak Ran!"
Rem sepeda berdenyit.
Ran menoleh, "Ada apa Mahdi?"
"Kak, tolong sampaikan maaf saya pada Han. Sebenarnya, saya tidak berminat menjadi juara. Saya hanya diminta oleh ibu saya mengikuti perlombaan ini. Karena ibu saya seorang penulis."
Ran tersenyum, "Mahdi tidak salah. Selamat ya, Mahdi memang pantas menjadi juara. Semoga akhlakmu seindah namamu. Tetap semangat belajar menulis ya, dan jadilah penerus ibumu."
Kalimat Ran bergetar.
"Kak Ran kenapa?"
"Ah, tidak. Ibu kita sama, seorang penulis. Kakak pamit ya, Assalamu'alaikum."
Ran kembali mengayuh sepedanya.
"Wa'alaikumsalam. Semoga kakak dan Han juga menjadi penulis."
Mahdi tersenyum haru. Ia masih mematung di sana sampai Ran hilang dari pandangan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Lafaz
ChickLitBila rindu, ingatan tentangmu begitu syahdu. Bila temu, hatiku tak akan mampu. Maka, aku tak tahu bagaimana melafadzkan rindu. Haruskah bulir-bulir air mata mengabarkannya padamu? ***