Seperti antara menunggu dan ditunggu. Alam metaforaya kepada puisi. Iya, seperti itu. Tak lebih dari kepingan rapuh yang jauh dari tangan-tangan lembut. Kendati lalu-lalangnya malam ada seribu lampu yang menyala, siangnya ada aktivitas kehidupan. Tapi sungguh, sebuah kesendirian itu masih memunyai ladangnya. Di sana tumbuh tanaman-tanaman yang banyak durinya. Tak luput kering kerontang tanahnya. Terjal jalannya. Malam dan siang hanya sebuah pergantian yang saling menyapa pada kehampaan.
Sebuah kehidupan hati dari Gadis puisi yang kata orang sudah mati terhadap perasaan nyeri.
Gadis puisi itu tak pernah suka mengutarakan bunyi apa yang tengah hatinya simpan rapat-rapat. Kesukaannya bermain dengan kepingan aksara. Malu, dia malu. Kesendirian sudah membunuhnya perlahan-lahan untuk mudah bersandar pada bahu-bahu.
Karena tak terbiasa untuk benar-benar menyisipkan kata 'air mata' dan 'luka'.
Jadi?
Jadi bahasa puisi adalah metode terbaik untuk mengetahui tingkat kepekaan hati banyak hati. Di lingkungannya.Pesan ini dari angin yang berembus, untuk daun yang jatuh tanpa pemungutnya, si Gadis puisi.
Lampung, 21 November 2018.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Air Mata Berbicara
Poetry#858 in Poetry: 24 Maret 2018 Tangisku yang berbicara, akan keluh hati bak gelombang lautan. Sayang, siapa tahu dia kan tiba? Asmaraku berbicara, bibirku terkatup rapat. Hidupku, hidupmu, hidupnya, hidup kalian.