Seindah apa mata itu menyala? Yang katanya menyapa senja, di antara ilalang-ilalang yang indah dicumbu alam.Bukan terang atau redupnya, ialah seberapa tajamnya jua mata itu menyala? Diekori masa yang tidak bisa diajak bercanda. Tentang kamu, kamu, dan kamu yang satu nama.
Dari palung hati, sebuah sinar ultraviolet kerap memancar antara malam-malam di angka 10. Tak ayal, sebelumnya dengan gesit sudah bertandang, lantas pergi usai menimang waktuku sampai begitu larut. Dini hari rasa terkantuk-kantuk seperti mengasingkan diri.
Pada negeri, yang singkat kau singgahi. Sejenak, biar aku bermonolog di akhiri tanda tanya.
Apa kabar kopi pagimu itu? Lama tak mengepul di beranda facebook dan instagram.
Apa kabar senjamu di sana? Tidakkah ilalang-ilalangnya sama indah dengan ilalalng kota asalmu?
Ah ya, apa kabar rasa kopi yang barangkali jarang kau seduh? Kopi Lampung bukankah sudah jauh dari jarakmu kini? Ah ya, pempek Palembang yang kini mudah bertemu kerongkonganmu.
Kembali, kuceritakan seindah apa mata itu menyala? Seberapa dalam maknanya? Sampai aku tak bisa berkata-kata, singkatnya hanya satu kalimat untuk hari merindu di awal Desember ini, ''Aku dititipkan rindu dari kenangan yang bisa dihitung jari.''
Hubungannya apa denganmu? Kau bertanya demikian? Pikirlah, temukan, dan rasakanlah indahnya dirindukan olehku yang selalu tertatih-tatih di antara kubangan tanya, kemudian pelipurnya hanya tiga: doa, doa, dan doa.
Lampung, 2 Desember 2018.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Air Mata Berbicara
Puisi#858 in Poetry: 24 Maret 2018 Tangisku yang berbicara, akan keluh hati bak gelombang lautan. Sayang, siapa tahu dia kan tiba? Asmaraku berbicara, bibirku terkatup rapat. Hidupku, hidupmu, hidupnya, hidup kalian.