''Jadi aku butuh sebuah jantung untuk beberapa menit mempersilakan degupannya mendengar kata-kataku. Tentang sebuah pecarian yang jarang aku temukan. Jawaban itu hanya bertandang acap kali aku yang mengundang karena suatu bernilai uang. Tertawalah kala itu jantung-jantung yang selalu aku rindukan kehadirannya saat lembah darah dan lelah bertandang. Seolah waktu yang usang membuat semuanya perlahan hilang, untuk benar-benar menganggap wajahku ini masih terpantul di cermin.
Sesuatu sempat nahas terjadi. Banyak napas yang berembus, berlalu, tak memberi bekasnya. Tatkala gantungan angan itu berdebar menanti, ujung-ujungnya patah lagi. Ujung-ujungnya, basah lagi. Haha, aku terlalu keras menggali ruang yang sebenarnya sebuah jurang.
Yang sangat mengenaskan di saat itu, bukan degup jantung yang rela aku sandarkan. Justru rinai hujan lebih berisik dan detik waktu kian tak terdengar. Aku bertanya, 'adakah jantung yang merasakan detak gelisah jantungku?'. Saat itu aku paham, tak semuanya bisa memahami. Banyak manusia tak bisa diajak berbaik hati, untuk sekadar menghargai. Saat itu aku tahu, selalu pada sujudku aku kembali. Sebuah tempat yang tak akan pernah bosan, tak akan pernah angkuh, dan tak akan pernah berusaha mematahkan pengharapan.
Allah, aku sepertinya hanya memiliki-Mu untuk labuhan keluh kesahku.''
Lampung, 13 November 2018.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Air Mata Berbicara
Poésie#858 in Poetry: 24 Maret 2018 Tangisku yang berbicara, akan keluh hati bak gelombang lautan. Sayang, siapa tahu dia kan tiba? Asmaraku berbicara, bibirku terkatup rapat. Hidupku, hidupmu, hidupnya, hidup kalian.