By: Vira Ayu SafilaTerpatri pagi di antara sepi, sepasang kakiku masih berdiri di jalan tandus. Terteguk kasih yang tertanggal tanpa kaki lain lagi. Biarlah, biarlah pendakian tak berujung ini bertemu ajalnya. Ajal rasa yang tiada lagi ada dalam dada. Jikalau tirai-tirai daun itu melangitkan mataku, bertanyalah daku. Siluet indah mendongak dalam cahaya senyumnya. Nyata yang pergi ada di separuh jalan pendakian. Tunggu! Biar aku wanita aku tak tahan akan rasa. Biarlah angin-angin berbisik mengejek jikalau aku mengejarmu. Biarlah ransel besarku menimbang seberapa kuat kaki mendobrak duri-duri sepanjang jalan. Darah berbekas lukisan tapak kaki bukan masalah. Seumpama tinta yang dicinta meski terhujam lukanya.
Satu, dua, tiga. Napasku tersenggal. Pita suara upaya ia mengeras-ngeras sabdakan namamu. Satu langkah, terjawablah jua sisa peluh yang gaduh. Aku disini! Disini! Di dalam angan yang mengalungkan teropong. Caraku tuk pandang matamu dari jauh. Di sela-sela cinta yang urung dibalas rasa. Tari-tari suka menyapa. Rapatkan. Rekatkan. Dua hati, yang tiada kusadari terjebak dalam denah yang sama. Hangat katamu meramu pendengaranku. Nyata cintamu meramu hatiku. Hangat kisah pendakianmu bersamaku. Berdamai, sama jua. Ada aku dalam kau. Ada kau dalam aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Air Mata Berbicara
Poesía#858 in Poetry: 24 Maret 2018 Tangisku yang berbicara, akan keluh hati bak gelombang lautan. Sayang, siapa tahu dia kan tiba? Asmaraku berbicara, bibirku terkatup rapat. Hidupku, hidupmu, hidupnya, hidup kalian.