"Nghh..."
Krist menjerit tertahan, bagian selatan tubuhnya memuntahkan hal yang sejak tadi ditahannya. Krist terlihat lemas. Matanya sayu, pipinya berubah menjadi merah muda, sementara keringat membasahi wajahnya.
Singto masih ada diatasnya. Ah seharusnya kau bangga kan Singto? Bisa menggagahi Krist, pemuda yang katanya arogan dan seenaknya sendiri. Krist yang berkuasa. Dia ada dibawahmu sekarang, mendesah untukmu.
Ho, ia akan merasa bangga jika saja kenyataannya ia tak dijadikan boneka oleh Krist. Menyerang titik lemahnya untuk mengambil alih dirinya. Singto sadar kedepannya, entah sampai kapan ia akan berada dibawah kendali Krist.
Tok tok
Pintu kamar Krist diketuk. Singto bergegas bangkit. Menata kembali penampilannya yang berantakan. Krist menggeram kesal, ia memakai kemejanya dan mengganti celananya yang basah.
Singto membuka pintu, Kay berdiri disana dengan senyum lebar. Wajahnya berlipat kali terlihat manis. Kay memakai dress berwarna putih selutut.
"Kalian sepertinya sedang mengobrol serius. Aku tidak menganggu kan?" Krist menahan dengusan gelinya. Mengobrol serius? Berperang desahan itu baru benar.
"Ah tidak. Kami sudah selesai bicara." Jelas Singto mengendalikan dirinya supaya tak terlihat terlalu gugup.
"Uhm, baguslah. Bisa temani aku? Aku ingin pergi ke makam Fluke." Singto mengangguk cepat tanpa berpikir panjang. Bagus,ia bisa menghindari Krist.
"Kalian tidak mau mengajakku?" Krist bersandar di daun pintu. Melipat tangannya didepan dada. Memandangi Kay dengan lurus dan tajam. Kay kikuk dalam beberapa saat. Merasa kaget saja.
"Serius P'Kit? Kau biasanya tidak mau." Kat menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Krist tersenyum miring.
"Aku harus mengunjungi teman lamaku." Krist tahu bahwa Singto dan Kay akan berkencan setelahnya. Tapi Krist tidak akan membiarkan hal itu sampai terjadi. Ia akan merusak momen indah itu.
Kay mengangguk. "Baiklah P'Kit. Aku akan menunggu dibawah."
Kay memang terlalu baik. Gadis manis itu berlari menuruni anak tangga dengan senyum yang merekah. Krist dan Singto kembali masuk kedalam kamar.
"Jadi apa maumu?" Tanya Singto tajam.
Krist menaikkan salah satu alisnya. "Tentu saja mengendalikan keadaan. Hm?"
Singto berdecih kesal
.
.
Mobil hitam berhenti di area pemakaman kota. Krist, Kay, dan Singto keluar dari dalam mobil tersebut."Kalian duluan. Aku ingin membeli bunga." Krist mempersilahkan Kay dan Singto melangkah terlebih dahulu. Tanpa menunggu jawaban, Krist segera membalikkan badannya. Melangkah menuju toko bunga kecil diseberang jalan.
Ketika ia masuk, Krist disambut oleh gadis berparas cantik.
"Bunga lili putih. Satu buket." Krist menjelaskan pesanannya.
"Baik tuan!" Gadis itu segera mencari pesanannya. Krist memandangi sekeliling, melihat bunga-bunga bermekaran. Terlihat cantik.
Dari jendela besar toko bunga ini, Krist bisa melihat jelas Singto merangkul bahu Kay. Berjalan menyusuri pemakaman untuk mencapai tempat peristirahatan Fluke.
Krist muak. Ia mengalihkan perhatiannya. Mengambil dompet hitam seharga sekian juta dollar dari dalam saku celananya. Mengambil selembar foto.
Tersenyum miris. Disana ada dirinya dan Fluke yang sama-sama memasang tampang datar. Krist membuka lipatan di sisi kiri foto, nyatanya ini bukan hanya fotonya berdua dengan mendiang Fluke. Namun ada Kay yang menyengir lebar sembari mengacungkan kedua jarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
YES OR YES? [SingtoxKrist]
FanfictionSejak kecil Krist selalu mendapatkan apapun yang ia mau. Apapun itu. Tinggal tunjuk maka ia akan memilikinya. Tidak ada yang sanggup membantah Krist dengan sifat arogansinya yang sudah mendarah daging. Tidak ada satupun yang bisa mematahkan egoismen...