"Ibu, bolehkah aku bermain dengan P'Off dan Kay?"
Bocah berkulit putih bersih itu mengerjabkan matanya. Memandang wanita yang ia sebut sebagai ibu.
"Tidak Krist." Jawab wanita itu, mengelus rambut hitam Krist yang tertata rapih. Mata Krist berkaca mendengar penolakan itu. Kenapa ia tidak boleh bermain dengan sepupu dan adik kembarnya? Krist masih kecil, dalam pikirannya hanya tertanam bahwa dirinya ingin bermain bebas seperti anak lainnya.
"Kenapa?" Tanya Krist dengan suara bergetar.
"Kau harus belajar Krist. Kau harus paham sejak sekarang bahwa kau dan Kay berbeda. Kalian tidak sama."
Airmata berjatuhan membasahi pipi bulat Krist.
"Tapi Kay dan aku punya wajah sama!" Ia memekik tidak terima. Apa yang membuatnya berbeda dari Kay?
"Tanggung jawab Krist. Kalian berbeda dalam hal itu. Kau penerus keluarga ini." Krist terisak, merasa tidak terima. Sejak beberapa bulan yang lalu Krist merasa hidupnya bagai dineraka. Ia yang biasanya bebas bermain dengan Kay dan Off mendadak harus sering bersama ibunya untuk belajar tentang bisnis, sopan santun, bahasa asing, dan keahlian lainnya. Krist tidak suka melakukan semua itu.
Ketika Kay bebas melakukan apapun, kenapa dirinya harus terkekang? Ini tidak adil kan!
"Hiks! Aku benci ibu!" Teriak Krist, berlari cepat menuju lantai dua.
Nyonya Sangpotirat hanya menghela napasnya kecil.
Krist bergerak gelisah dalam tidurnya. Berusaha bangun dari mimpinya, tapi tidak bisa. Mimpi yang baginya mirip seperti pisau yang membunuhnya setiap waktu.
Mata dengan iris kelam itu terbuka pada akhirnya. Krist memandangi langit-langit kamarnya. Menyentuh pipinya yang terasa basah. Dia menangis.
Krist selalu menyimpan segala ketakutannya seorang diri. Tertutupi oleh sifat angkuhnya, hanya karena Krist tidak ingin dianggap lemah.
Pemuda itu bangkit dari atas ranjang, meringis merasakan nyeri di bagian pantatnya. Wajahnya samar memerah mengingat malam panasnya dengan Singto beberapa jam yang lalu. Krist melirik Singto yang membelakanginya.
Krist menuangkan air putih kedalam gelas. Meminumnya, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Setelah merasa cukup, Krist kembali membaringkan tubuhnya diatas ranjang. Menghadap punggung Singto, melingkarkan tangannya di pinggang Singto. Membenamkan kepalanya di punggung Singto, menghirup dalam aroma tubuh Singto yang terasa bagai musim panas.
"Kau milikku. Bukan milik Kay." Krist merasa tubuhnya bergetar. Ia menangis lagi. Krist Perawat yang angkuh dan seenaknya memang berubah menjadi melankolis saat mengingat masalalunya. Hal yang membuatnya rapuh. "Kay sudah merebut segalanya dariku. Dulu aku bisa mengampuni ketika dia mengambil Fluke dariku. Tapi sekarang tidak, kau mutlak milikku. Suka tidak suka, aku akan membuatmu hanya memandangku." Krist mengeratkan pelukannya. Menghembuskan napasnya kecil. Mulai memejamkan matanya, semoga mimpi buruk itu tak lagi datang.
Krist tidak tahu, Singto sejak tadi sudah terbangun. Mendengarkan apa yang Krist ucapkan.
.
.
"Aku sudah memecat Bora. Setelah ini Singto yang akan menjadi sekretarisku."Off tersedak air minumnya. Melotot tak percaya pada Krist yang berucap penuh percaya diri. Sementara Singto berusaha bersikap normal.
Nyonya Sangpotirat dan Kay jelas terkejut.
"Kau memecat Bora?!" Off berseru heboh.
"Kurasa kau tidak tuli." Balas Krist tajam. Off langsung diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
YES OR YES? [SingtoxKrist]
FanfictionSejak kecil Krist selalu mendapatkan apapun yang ia mau. Apapun itu. Tinggal tunjuk maka ia akan memilikinya. Tidak ada yang sanggup membantah Krist dengan sifat arogansinya yang sudah mendarah daging. Tidak ada satupun yang bisa mematahkan egoismen...